Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaliy
Semua keyakinan, ucapan, ataupun amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baik yang sifatnya wajib maupun sunnah, semuanya dicintai dan diridhai oleh Allah. Sebaliknya semua keyakinan, ucapan ataupun amalan yang dilarang dan bertentangan dengan syari’at, maka itu semuanya dibenci oleh Allah.
Di sini akan disebutkan dan dijelaskan beberapa amalan yang diridhai dan beberapa amalan yang dibenci oleh Allah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا
وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا: فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ
تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا
وَلاَ تَفَرَّقُوْا، وَأَنْ تَنَاصَحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ،
– وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا – قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ،
وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga perkara dan benci untuk kalian tiga perkara: (1). Allah ridha untuk kalian agar kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. (2).Agar kalian seluruhnya berpegang teguh dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah. (3). Hendaklah kalian saling memberikan nasehat kepada orang-orang yang mengurusi urusan kalian (yakni penguasa kaum muslimin). -Dan Allah benci untuk kalian tiga perkara- : (1). Qiila wa Qaal (dikatakan dan katanya), (2). banyak meminta dan bertanya, dan (3). menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim dalam Shahiih-nya Kitaabul Aqdhiyaa` Baab An-Nahyu ‘an Katsratil Masaa`il no.1715, Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` Kitaabul Kalaam Baab Maa Jaa`a fii Idhaa’atil Maal no.20, dan Al-Imam Ahmad 2/367)
Penjelasan Kosakata yang Ada dalam Hadits
– Ridha dan benci adalah dua sifat yang layak untuk Allah sesuai dengan
keagungan-Nya, yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Inilah
salah satu aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka mengimani dan
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah sebagaimana yang Dia
tetapkan dalam kitab-Nya dan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan dalam sunnahnya. Tanpa tahriif (mengganti lafazh maupun maknanya dengan makna yang bathil), ta’thiil (menolak sebagian atau seluruh sifat-sifat Allah), takyiif (menanyakan bagaimana hakikatnya), dan tanpa tamtsiil (menyerupakan atau menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya).
– Ibadah, secara bahasa artinya ketundukan dan merendahkan diri yang
disertai dengan rasa cinta. Adapun secara istilah adalah suatu nama
yang mencakup seluruh perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah
berupa perkataan dan amalan baik yang zhahir maupun yang bathin. Maka
seluruh yang Allah perintahkan baik yang wajib maupun yang sunnah, maka
itu adalah ibadah. Sedangkan menyerahkannya kepada selain-Nya adalah
kesyirikan.
– Kesyirikan adalah menjadikan tandingan untuk Allah pada sesuatu dari
perkara ibadah, di mana seorang hamba menyerahkan salah satu dari jenis
ibadah kepada selain Allah. Maka setiap keyakinan, ucapan atau amalan
yang telah tetap bahwasanya hal itu diperintahkan oleh syari’at maka
menyerahkannya hanya untuk Allah semata merupakan tauhid, keimanan dan keikhlasan. Sedangkan menyerahkannya kepada selain-Nya adalah
kesyirikan.
– Berpegang teguh dengan tali Allah artinya berpegang teguh dengan
apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah berupa Al-Kitab (Al-Qur`an) dan
As-Sunnah. Tentunya dengan pemahaman salafush shalih, generasi awal
ummat Islam dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
– Qiila wa Qaal artinya pembicaraan dalam perkara yang bathil dan yang tidak bermanfaat.
– Banyak meminta dan bertanya artinya memperbanyak pertanyaan dan
permintaan kepada manusia dan membahas pertanyaan dan permasalahan yang belum terjadi.
– Menyia-nyiakan harta artinya membiarkannya tanpa dipergunakan dan
menelantarkannya, menyalahgunakannya dan melalaikannya, serta
menyengajanya untuk dibuang.
Makna Global Hadits Ini
Di dalam hadits ini terdapat enam petunjuk nabawi yang agung, yaitu:
Pertama, Perintah untuk Bertauhid
Yakni anjuran dan perintah untuk bertauhid yang bersih dari kesyirikan
dan perintah agar melaksanakan hak Allah yang paling agung dan
kewajiban Islam yang paling agung yaitu mengesakan Allah semata dalam
ibadah. Yang hal ini merupakan tujuan diciptakannya jin dan manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzaariyaat:56)
Dan juga menjauhi kesyirikan dalam beribadah kepada-Nya. Maka janganlah
seorang hamba menyekutukan Allah dengan seorang pun dari makhluk-Nya.
Janganlah dia menjadikan tandingan untuk Allah dalam do’a, istighatsah
(meminta pertolongan untuk menghilangkan marabahaya dan kesulitan),
sembelihan, nadzar, harapan, rasa takut, tawakkal dan yang lainnya dari
jenis ibadah. Karena perkara-perkara ini adalah hak khusus untuk Allah,
yang Dia tidak ridha disekutukan dalam perkara-perkara tersebut baik
dengan seorang malaikat yang terdekat ataupun dengan seorang nabi yang
diutus. Apalagi selain mereka yang bukan malaikat ataupun nabi.
Kedua, Berpegang Teguh dengan Tali Allah
Yaitu berpegang teguh dengan apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan juga pengajaran Rasulullah dari
masalah aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Maka tidak ada keluasan
bagi seorang muslim manapun, individu, kelompok, dan masyarakat
manapun, serta penguasa atau rakyat manapun untuk keluar dari sesuatu
yang merupakan pokok-pokok Islam ataupun cabang-cabangnya. Bahkan wajib
atas semuanya untuk beriman, berpegang teguh dan komitmen secara
sempurna terhadap seluruh yang dibawa oleh penutup para nabi dan
pemimpin para rasul serta mendahulukannya di atas seluruh ucapan dan
petunjuk yang lainnya.
Kemudian berhukum kepada apa-apa yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seluruh aspek kehidupan. Memurnikan ketaatan dan mutaba’ah (mengikuti) kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam seluruh perkara agama yang kecilnya maupun yang besarnya. Serta
menjauhi seluruh bid’ah, pemikiran yang menyimpang dan kemaksiatan.
Dengan ini semuanya -bukan dengan lainnya- akan bersatulah perkaranya
kaum muslimin dan akan tegaklah persatuan mereka yang diidam-idamkan.
Serta akan terbuktilah atas mereka semuanya bahwasanya mereka adalah
orang-orang yang berpegang teguh dengan tali Allah. Realita inilah yang
diinginkan oleh Allah dan yang dibebankan-Nya kepada ummat Islam. Bukan
persatuan politik yang disertai dengan adanya perbedaan aqidah, hawa
nafsu dan tujuan-tujuan. Karena sesungguhnya gambaran seperti ini
dengan berkumpulnya berbagai golongan walaupun lengkap, akan tetapi
pada hakikatnya ini adalah jauh dari kebenaran, bahkan hal ini masuk
dalam firman-Nya,
“Kamu mengira mereka bersatu padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr:14)
Ketiga, Menasehati Penguasa Kaum Muslimin
Hal ini akan sempurna dengan adanya kerjasama dengan mereka di atas
kebenaran. Mentaati mereka, memerintahkan, memberitahu dan mengingatkan mereka dengan lemah lembut. Menasehati mereka apabila lalai, berbuat kezhaliman dan kemaksiatan. Semuanya ini dilakukan dengan cara yang syar’i yakni menasehati mereka tidak dengan cara terang-terang di depan umum ataupun di mimbar-mimbar umum. Akan tetapi menasehatinya dengan diam-diam/tersembunyi atau dengan empat mata, dengan surat atau cara lainnya yang disyari’atkan.
Tidak boleh memberontak kepada mereka. Demikian juga tidak boleh
demonstrasi karena cara ini merupakan cara-caranya orang kafir dan akan
menimbulkan kemudharatan yang besar yaitu kekacauan dan keributan
diakibatkan penentangan masyarakat yang terang-terangan tersebut.
Melaksanakan shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka dan
menyerahkan zakat kepada mereka yakni dalam hal pengurusannya.
Tidak memberontak dengan mengangkat pedang kepada mereka apabila muncul dari mereka tindakan kezhaliman ataupun jeleknya akhlak mereka. Akan tetapi kita mendo’akan kebaikan untuk mereka, menasehati mereka dengan cara yang syar’i dan tetap taat kepada mereka dalam perkara yang
ma’ruf. Dan tidak boleh memperdayakan dan menipu mereka dengan
memberikan pujian yang dusta kepada mereka.
Keempat, Dilarangnya Qiila wa Qaal
Yaitu pembicaraan dalam perkara yang bathil, menyebarkan kekejian,
menyebarkan berita-berita burung (berita-berita yang belum jelas
kebenarannya), dan menyebarkan berita-berita yang dusta. Cukuplah
seseorang dikatakan telah berdusta apabila menceritakan setiap apa yang
didengarnya. Demikian juga tenggelam dalam menggambarkan
permasalahan-permasalahan yang belum terjadi dan berusaha menjawabnya sebelum terjadinya. Karena sesungguhnya hal ini akan memalingkan kaum muslimin dari mempelajari Al-Kitab dan As-Sunnah dan akan menyibukkan mereka dari menghafal dalil-dalil dari keduanya dan memahami keduanya.
Kelima, Dilarangnya Banyak Meminta
Perkara ini mencakup meminta apa-apa yang dimiliki oleh manusia berupa
harta dan lainnya, dan juga mencakup meminta agar dipenuhi kebutuhannya
melalui mereka. Hal ini tidak layak bagi seorang muslim yang menginginkan agar Allah menjadikannya seorang yang mulia lagi terpuji.
Maka meminta kepada manusia pada asalnya diharamkan dan tidak boleh kecuali dalam keadaan darurat. Ada tiga kerusakan/bahaya di dalam permasalahan meminta kepada manusia yang bukan dalam keadaan terpaksa, yaitu:
1. Adanya sikap membutuhkan kepada selain Allah dan ini termasuk satu jenis dari kesyirikan
2. Menyakiti dan memberatkan orang yang diminta dan ini termasuk satu jenis dari kezhaliman terhadap makhluk
3. Merendahkan diri kepada selain Allah dan ini termasuk kezhaliman terhadap diri sendiri.
Untuk itu hendaklah kita berusaha semaksimal mungkin untuk tidak
meminta kepada manusia kecuali dalam keadaan terpaksa atau memang
sangat kita butuhkan. Sebaliknya bagi yang mampu hendaklah membantu
saudaranya ketika melihat saudaranya memang membutuhkan bantuan.
Baik dengan hartanya, tenaganya ataupun pikirannya sesuai dengan
kebutuhannya. Sehingga dengan ini akan terwujudlah ta’awun dan ukhuwwah antar sesama muslim.
“Dan Allah akan menolong seorang hamba selama dia menolong audaranya.” (HR. Muslim no.2699 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
“Sesungguhnya seorang mukmin bagi mukmin lainnya ibaratnya sebuah bangunan, bagian yang satu menguatkan bagian yang lainnya.” (HR. Al-Bukhariy no.481 dari Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu)
Permasalahan dilarangnya meminta ini apabila orang yang diminta itu
hidup dan mampu untuk mengabulkan permintaan tersebut. Maka bagaimana pendapatmu tentang meminta kepada orang yang mati dan ghaib (tidak ada di tempat dan tidak bisa dijangkau oleh pancaindera ataupun alat
komunikasi) yang tidak mampu mengabulkannya kecuali Allah?!? Sungguh,
ini adalah benar-benar suatu kesyirikan yang nyata kepada Allah.
Larangan ini juga mencakup larangan banyak bertanya yang sifatnya
ilmiyyah. Lebih khusus lagi apabila dimaksudkan dengannya untuk
memberatkan orang yang ditanya, mengujinya, menunjukkan perselisihan
dengannya atau untuk berdebat dengan kebathilan.
Demikian juga masuk dalam larangan ini adalah tenggelam dalam
pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang belum terjadi dan
hampir mustahil terjadinya serta meminta jawaban-jawabannya. Seperti
pertanyaan, “Kemanakah kita menghadap ketika shalat apabila Allah mengangkat Ka’bah ke langit?” Dan pertanyaan lainnya yang sejenis yang tidak bermutu dan tidak berfaedah.
Keenam, Dilarangnnya Menyia-nyiakan Harta
Karena sesungguhnya harta itu adalah nikmat dari Allah. Harta bisa
digunakan untuk membantu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.
Untuk jihad fi sabiilillaah dan untuk membantu orang-orang muslim yang
berhak menerimanya dari kalangan fuqaraa` dan masaakiin (orang-orang miskin), karib kerabat dan selain mereka.
Maka wajib bagi seorang muslim untuk bersyukur kepada Rabbnya atas
nikmat ini dan menjaganya agar jangan sampai hilang dan tersia-siakan.
Tidak membelanjakannya kecuali di jalan yang Allah syari’atkan atau
yang dibolehkan-Nya. Dan tidak boleh baginya untuk membelanjakannya di
jalan syaithan dan kemaksiatan sebagaimana tidak boleh baginya untuk
membiarkan nikmat ini tanpa digunakan dan menyengaja untuk dibuang.
Faedah-Faedah Hadits Ini
Diantara faedah-faedah hadits ini adalah:
1. Wajibnya melaksanakan ibadah kepada Allah sesuai dengan cara yang diinginkan-Nya
2. Wajibnya menjauhi segala macam kesyirikan, yang kecilnya maupun yang besarnya
3. Wajibnya berpegang teguh dengan tali Allah yaitu Islam yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik Al-Kitab maupun As-Sunnah pada seluruh segi kehidupan
4. Haramnya berpecah belah dan wajib bagi kaum muslimin bersatu di atas kebenaran
5. Wajibnya menasehati penguasa kaum muslimin dan bekerjasama dengan mereka di atas kebenaran dan kebaikan
6. Haramnya Qiila wa Qaal
7. Haramnya meminta kepada makhluk kecuali dalam perkara yang
disanggupi oleh mereka dan dalam keadaan mendesak/terpaksa, sedangkan
yang paling utama adalah tawakkal dan bersabar
8. Haramnya menyia-nyiakan dan membuang harta.
Wallaahu A’lam bish-Shawaab.
Disadur dari Mudzakkiratul Hadiits An-Nabawiy fil ‘Aqiidah wal ittibaa’ hadits ke-11, karya Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaliy Hafizhahullaahu Ta’aalaa.
Sumber: Buletin Dakwah Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-4 Tahun ke-4 / 02 Desember 2005 M / 30 Syawwal 1426 H. URL sumber: http://fdawj.atspace.org/awwb/th4/4.htm
Leave a Reply