Oleh: Ummu Salamah bintu ‘Alî As-Salafiyyah
Ajakan untuk mempekerjakan wanita di bidang yang khusus untuk laki-laki yang berkonsekuensi ikhtilath merupakan ajakan yang sangat berbahaya, akan berdampak kejelekan, berbuah pahit dan berakibat mengerikan, sama saja apakah hal itu dilakukan secara terang-terangan ataupun tidak dengan alasan tuntutan zaman dan peradaban. Yang pokok dari semua itu, ajakan seperti ini bertentangan dengan nash-nash syar`i yang memerintahkan wanita untuk tetap tinggal di rumahnya dan menunaikan pekerjaan yang khusus baginya di rumahnya. Siapa yang ingin mengetahui lebih dekat kerusakan tak terhitung yang ditimbulkan oleh ikhtilath maka silahkan ia melihat, dengan pandangan yang adil dari dirinya dan semata ingin kebenaran, kepada masyarakat yang telah jatuh dalam bala besar ini secara sukarela atau pun terpaksa. Engkau akan dapatkan di situ penyesalan atas apa yang menimpa individu dan masyarakat, dan penyesalan atas lepasnya wanita dari rumahnya dan tercerai berainya keluarga. Engkau akan dapatkan pengakuan ini lewat lisan kebanyakan penulis bahkan tercantum dalam mass media. Ikhtilath ini tidak lain kecuali akan menghancurkan masyarakat dan merobohkan bangunannya.
Banyak sekali dalil shahih yang jelas menunjukan haramnya khalwat (bersepi-sepi) dengan wanita yang bukan mahram, haramnya memandang kepadanya dan haramnya semua perantara yang mengantarkan seseorang kepada perbuatan yang Allah haramkan. Dalil-dalil itu semua menetapkan haramnya ikhtilath (“Al Hijab was Sufur“, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hal. 21).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
﴿وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَءَاتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وُيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا﴾ [الأحزاب: ٣٣]
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang terdahulu. Dirikan shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah menginginkan untuk menghilangkan kotoran dosa dari kalian wahai ahlul bait (Rasulullah) dan mensucikan kalian dengan sesuci-sucinya.” (QS. Al Ahzab: 33)
﴿قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ، وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ﴾ [النور: ٣٠-٣١]
“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengkhabarkan terhadap apa yang mereka perbuat.” Dan katakanlah kepada wanita mukminah, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka serta tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung mereka di atas dada mereka.” (QS. An Nur: 30-31)
Allah memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada kaum mukminin dan mukminat agar mereka senantiasa menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan dari berzina. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan perkara ini lebih suci bagi mereka. Dimaklumi bahwa memelihara kemaluan dari perbuatan keji hanyalah dapat ditempuh dengan menjauhi perantara-perantaranya. Sementara membebaskan pandangan mata, bercampurnya wanita dengan lelaki dan lelaki dengan wanita di lapangan kerja dan selainnya merupakan perantara terbesar jatuhnya seseorang kepada perbuatan keji. Mustahil seseorang bisa menjalankan dua perkara yang dituntut darinya ini (menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dari berzina) bila ia bekerja bersama wanita yang bukan mahramnya sebagai rekan atau sekutu dalam perkerjaan. Dengan demikian, terjunnya wanita di medan ini bersama laki-laki dan terjunnya laki-laki di medan ini bersama wanita termasuk perkara yang dengannya mustahil bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan mustahil akan tercapai kesucian dan kebersihan hati.” (“Al Hijab was Sufur fil Kitâb was Sunnah“, hal. 24)
Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu bertutur dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ.. (رواه البخاري ومسلم)
“Hati-hati kalian masuk ke tempat wanita.” Berkata seseorang dari kalangan Anshar, “Bagaimana pendapatmu dengan ipar?” “Ipar itu kematian,” jawab beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengkabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ (رواه البخاري ومسلم)
“Sekali-kali tidak boleh salah seorang dari kalian bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila wanita itu bersama mahramnya.”
Berdirilah seseorang laki-laki seraya berkata: “Wahai Rasulullah, istriku akan keluar melaksanakan haji sementara aku telah tercatat untuk ikut perang ini dan itu. Rasulullah bersabda:”Kembalilah dan berhajilah bersama istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallahu`anhuma mengisahkan bahwa beberapa orang laki-laki dari Bani Hasyim masuk ke rumah Asma bintu Umais. Lalu masuk pula Abu Bakr Ash Shiddiq, suaminya. Abu Bakr tidak senang dengan keberadaan mereka di dalam rumahnya. Lalu menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelahnya ia berkata: “Aku tidak melihat kecuali kebaikan.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh Allah mensucikannya (Asma bintu Umais) dari perbuatan keji.” Kemudian beliau berdiri di atas mimbar, seraya berkhutbah:
لا يَدْخُل رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثَنَان. (رواه مسلم)
“Setelah hariku ini, tidak boleh seorang pun masuk ke rumah wanita yang suaminya sedang tidak ada (pergi) kecuali bila bersamanya ada seorang atau dua orang laki-laki.” (HR. Muslim)
Di rumah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang waria (banci). Lalu si banci ini berkata kepada saudaranya Ummu Salamah, Abdullah bin Abi Umayyah, “Bila besok Allah menangkan Thaif atas kalian, akan kutunjukkan kepadamu putrinya Ghailan, karena ia menghadap dengan empat dan membelakang dengan delapan (yakni montok).” Mendengar hal tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh sama sekali orang banci ini masuk ke tempat kalian lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ (رواه البخاري ومسلم)
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفَكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَالتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ (رواه مسلم)
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah (pengatur) di atasnya, hingga Ia melihat bagaimana kalian beramal. Karena itu takutlah kalian kepada dunia dan berhati-hati terhadap wanita karena awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il adalah pada wanitanya.” (HR. Muslim)
Mengeluarkan wanita dari rumahnya yang merupakan istananya dalam kehidupan dunia ini berarti mengeluarkannya dari apa yang dikandung oleh fithrah dan tabiatnya yang Allah ciptakan. Maka seruan mempekerjakan wanita di bidang yang khusus bagi lelaki adalah perkara yang berbahaya bagi masyarakat islam dan berkonsekuensi ikhtilath yang teranggap sebagai perantara terbesar kepada perbuatan zina yang mengoyak masyarakat dan merobohkan nilai dan akhlaknya.
Allah menciptakan wanita dengan susunan tubuh yang khusus yang sangat berbeda dengan lelaki. Allah siapkan wanita itu untuk menunaikan pekerjaan di dalam rumah dan pekerjaan yang dilakukan di antara kaum wanita. Makna dari hal ini adalah menerjunkan wanita di bidang yang khusus bagi lelaki teranggap sebagai perbuatan mengeluarkan wanita dari susunan penciptaannya dan tabiatnya. Jelas ini merupakan pelanggaran yang besar terhadap wanita, memutuskan mental/jiwanya dan menghancurkan pribadinya. Tidak berhenti sampai di situ bahkan anak-anak akan ikut merasakan dampak buruknya, karena mereka kehilangan pendidikan, kasih saying dan kelembutan. Ibu yang seharusnya menunaikan tugas ini telah terpisah darinya dan memisahkan diri secara utuh dari istananya, padahal tidak mungkin ia akan dapatkan kesenangan dan ketenangan kecuali di dalamnya. Kenyataan masyarakat yang berada dalam posisi ini merupakan bukti yang paling benar dari apa yang kami katakana ini.
Kami telah menyebutkan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan haramnya ikhtilath dan haramnya wanita bergabung dalam pekerjaan laki-laki. Sebenarnya hal ini telah mencukupi bagi pencari kebenaran. Akan tetapi melihat kenyataan adanya sebagian orang suka mengambil faedah dari ucapan orang-orang barat lebih dari mengambil faedah dari ucapan Allah dan ucapan ulama kaum muslimin, berikut ini kami nukilkan untuk mereka pernyataan yang mengandung pengakuan orang-orang barat dan timur tentang bahaya dan kerusakan ikhtilath. Mudah-mudahan mereka merasa cukup dengannya dan mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh agama mereka yang agung berupa pelarangan ikhtilath merupakan sumber kemuliaan dan penjagaan terhadap wanita dari perantara-perantara yang akan membahayakan dan menyabik kehormatan mereka.
Berkata Ladi Koek, seorang penulis wanita berkebangsaan Inggris: “Ikhtilath itu disenangi oleh laki-laki. Karena itulah wanita berambisi untuk melakukan perkara yang menyelisihi fithrahnya ini. Semakin banyak ikhtilath, semakin banyak pula terlahir anak-anak zina. Ini merupakan bencana yang besar bagi wanita.”
Ia berkata pula: “Ajarilah para wanita agar menjauh dari bercampur baur dengan lelaki dan kabarkan kepada mereka akibat tipu daya tersembunyi yang selalu mengintai.”
Samuel Samailis, seorang lelaki Inggris, berkata: “Undang-undang yang mengharuskan wanita bekerja di pabrik-pabrik, sekalipun meningkatkan penghasilan bagi negara, namun akibatnya meruntuhkan bangunan kehidupan rumah tangga. Karena ia menghantam bangunan yang kokoh, mencerai beraikan sendi-sendi keluarga dan merobek-robek ikatan kemasyarakatan. Karena ia mengambil istri dari suaminya dan anak-anaknya dari kerabatnya. Jadilah hal ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar melemahkan akhlak wanita, karena tugas wanita yang hakiki adalah mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti merapikan tempat tinggalnya, mendidik anak-anaknya, mengatur keuangan rumah tangganya dan menunaikan kebutuhan-kebutuhan rumah. Akan tetapi pabrik-pabrik (tempat-tempat kerja di luar rumah) ini telah mengambilnya dari semua kewajiban di atas, sehingga rumah bukan lagi menjadi tempat-tempat tinggal, anak-anak tumbuh remaja tanpa pendidikan dan tersia-siakan, padamlah cinta antara suami istri dan keluarlah si wanita dari keberadaannya sebagai istri yang dikasihi sang suami menjadi partnernya dalam pekerjaan dan kepayahan/kesulitan kerja.”
Seandainya kita mau menceritakan apa yang diucapkan oleh orang-orang barat yang mau bersikap adil tentang kemudharatan ikhtilath, yang berbuah ikut sertanya wanita di bidang kerja laki-laki, niscaya terlalu panjang. Akan tetapi isyarat yang bermanfaat lebih mencukupi daripada pengungkapan yang panjang. (Diringkas dari “Al Hijab was Sufur“, hal. 21)
Footnote:
* Bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya pemisah.
(Dinukil dari الإنتصار لحقوق المؤمنات (Persembahan Untukmu, Duhai Muslimah (Sebuah Pembelaan terhadap Hak-hak Wanita menurut Aturan Syari’at)); pasal Ikhtilath dan Bahayanya, karya Ummu Salamah As-Salafiyyah, hal. 253-261, penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein Al-Atsariyyah, penerbit: Pustaka Al-Haura’ Yogyakarta, cet. ke-1 Rabi’ul Awwal 1425H, untuk http://akhwat.web.id)
Afwan, mau tanya:
Apakah ikhwan & akhwat yg saling menanggapi komentar dlm sebuah kajian di grup facebook termasuk ikhtilath ?
Sebab seringkali membernya itu bkn cm ikhwan sja.
Syukron
batatsan-batasan ikhtilath sudah dijelaskan di atas. adapun komunikasi dgn alat komunikasi tidak trmasuk, hanya saja trdapat adab-adab islami dalam berkomunikasi yg harus ditaati.