Penulis: Al-Ustâdz Muslim Abû Ishâq Al-Atsarî
Shalat, ibadah yang demikian utama ini ternyata banyak yang meninggalkannya. Sebagian besar memang dilatari kemalasan, namun tak sedikit yang mengingkari kewajibannya. Yang disebut belakangan kebanyakan menjangkiti sebagian dari mereka yang belajar “Islam” ke negara-negara Barat.
Shalat sebagaimana yang kita ketahui merupakan tiang agama, seperti dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya:
رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Pokok dari perkara ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabillah.” (HR. Ahmad 5/231, At-Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3979, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibnu Majah)
Secara bahasa, shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“Shalatlah untuk mereka karena sesungguhnya shalatmu adalah ketenangan1 bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Makna “bershalatlah untuk mereka” adalah berdoalah untuk mereka.2
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ
“Apabila salah seorang dari kalian diundang (untuk makan) maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Bila ia dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia makan (jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, pen.). Namun bila ia sedang berpuasa maka hendaknya ia mendoakan tuan rumah.” (HR. Muslim no. 1431)
Ibadah yang disyariatkan ini dinamakan dengan nama doa/shalat karena tercakup di dalamnya doa-doa.
Adapun makna shalat dalam syariat adalah peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ucapan dan perbuatan yang telah diketahui, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat yang khusus dan dengan niat. (Al-Fiqhu ‘Alal Madzhabil Arba’ah, 1/160, Subulus Salam, 1/169, Asy-Syarhul Mumti’, 1/343, Taudhihul Ahkam, 1/469, Taisirul ‘Allam, 1/109)
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan, bila dalam syariat disebutkan perkara shalat atau hukum yang berkaitan dengan shalat maka shalat ini dipalingkan dari maknanya secara bahasa kepada pengertian shalat secara syar’i3.
Shalat ini hukumnya wajib menurut Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Dari Al-Qur`an, kita dapatkan kewajibannya antara lain dalam:
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
“Tidaklah mereka itu diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuknya dalam keadaan hanif (condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan) dan agar mereka menegakkan shalat serta membayar zakat. Yang demikian itu adalah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103)
Dari As-Sunnah, shalat termasuk rukun Islam yang tersebut dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقاَمِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 113)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu saat mengutusnya ke negeri Yaman untuk mendakwahkan Islam kepada ahlul kitab yang tinggal di negeri tersebut:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
“Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah memfardhukan kepada mereka lima shalat dalam sehari semalam.” (HR. Al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 121)
Dari sisi ijma’, umat ini telah sepakat akan wajibnya shalat lima waktu sehari semalam. Tak ada seorang pun yang menentang kewajibannya, sampai-sampai ahlul bid’ah pun mengakui kewajibannya. (Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 47, Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, Asy-Syarhul Mumti’, 1/345)
Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari sisi agama maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan, memberi dampak positif dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan hidup (Taisirul ‘Allam, 1/109). Di dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di dalamnya terdapat dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, ruku’, sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat merupakan induk/ puncak ibadah badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh). (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 1/79)
Penyebutan Shalat dalam Al-Qur`an
Banyak sekali ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebutkan tentang shalat. Terkadang digabungkan penyebutannya dengan dzikir (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala) seperti dalam ayat berikut ini:
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan untuk mengingat Allah (berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan banyak.” (Al-‘Ankabut: 45)
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي
“Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)
Terkadang penyebutannya digandengkan dengan zakat seperti dalam ayat:
وَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 110)
Terkadang pula digandengkan dengan kesabaran:
وَاسْتَعِيْنُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian….” (Al-Baqarah: 45)
Dan lain sebagainya.
Keutamaan Shalat dan Kedudukannya dalam Islam
Shalat yang selalu kita kerjakan setiap hari, memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam agama ini. Ibadah yang mulia ini disyariatkan pada seluruh umat, tidak hanya pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Maryam ibunda ‘Isa ‘alaihissalam:
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِيْنَ
“Wahai Maryam, taatilah Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Ali ‘Imran: 43)
Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan shalat, juga karena shalat merupakan penghubung antara seseorang dengan Rabbnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kewajiban ibadah ini langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa perantara, pada malam Mi’raj di Sidratul Muntaha di langit ketujuh, sekitar tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/344, Taudhihul Ahkam, 1/469)
Begitu pentingnya shalat ini, sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjaganya baik di waktu muqim (menetap di kediaman, tidak bepergian) maupun di waktu safar (bepergian jauh/keluar kota), baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan mencekam seperti situasi perang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُوْمُوا لِلهِ قَانِتِيْنَ. فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُوْنُوا تَعْلَمُوْنَ
“Jagalah oleh kalian semua shalat dan jagalah pula shalat wustha (shalat ‘Ashar). Berdirilah karena Allah dalam shalat kalian dengan khusyu’. Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, sebutlah/ingatlah Allah sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengancam orang-orang yang menyia-nyiakan shalat:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Lalu datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang melalaikan shalat mereka.” (Al-Ma’un: 4-5)
Yang perlu diketahui, shalat ini merupakan kewajiban pertama yang harus ditunaikan seorang hamba setelah ia mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam ayat:
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian menjumpai mereka, tangkaplah mereka, kepung dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dari kesyirikan mereka dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (At-Taubah: 5)
Shalat yang dikerjakan dengan benar akan mencegah dari perbuatan kemungkaran:
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)
Mengerjakan shalat juga akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Karena shalat merupakan kebajikan utama, sementara kebajikan akan menghapus kejelekan:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 114)
Di antara bukti yang menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan yang tinggi dan utama bila dibandingkan amalan-amalan lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seseorang melakukannya sampai ia mencuci anggota-anggota wudhunya, ditambah dengan memerhatikan kebersihan badan seluruhnya. Demikian pula pakaian dan tempat shalat harus suci/bersih dari kotoran/najis. Bila tidak mendapatkan air atau udzur untuk menggunakannya, maka ia dapat menggantinya dengan tayammum. (Ta’zhim Qadri Ash-Shalah, Al-Imam Al-Marwazi, 1/170)
Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dan tingginya kedudukan shalat dalam agama ini, di antaranya:
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ، فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1358 karena banyak jalannya)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيْهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا، مَا تَقُوْلُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ؟ قَالُوْا: لاَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئاً. قَالَ: فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا
“Apa pendapat kalian bila ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, di mana dalam setiap harinya ia mandi di sungai tersebut sebanyak lima kali, apa yang engkau katakan tentang hal itu apakah masih tertinggal kotoran padanya?” Para sahabat menjawab, “Tentu tidak tertinggal sedikitpun kotoran padanya.” Rasulullah bersabda, “Yang demikian itu semisal shalat lima waktu. Allah menghapus kesalahan-kesalahan dengan shalat tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 1520)
Jumlah Shalat Fardhu
Shalat diwajibkan setiap malam dan siangnya sebanyak lima kali. Inilah yang dikatakan shalat fardhu4 atau shalat wajib. Shalat fardhu ini disebutkan dalam hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkisah:
جَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرُ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلاَ يُفْقَهُ مَا يَقُوْلُ حَتَّى دَنَا، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فيِ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرَهُنَّ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
“Datang seorang lelaki dari penduduk Najd dengan rambut yang kusut masai, terdengar pekik suaranya yang keras (dari kejauhan) namun tidak dapat dipahami apa yang ia katakan, hingga ia mendekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, ‘Shalat lima waktu sehari semalam.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Apakah ada shalat lain yang wajib aku tunaikan selain shalat lima waktu tersebut?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan shalat tathawwu’ (shalat sunnah)…’.” (HR. Al-Bukhari no. 46 dan Muslim no. 100)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan tentang shalat yang difardhukan kepada para hamba (yaitu shalat lima waktu, pent.).” (Nailul Authar,1/398)
Lima shalat yang diwajibkan tersebut adalah shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan ‘Isya. Kelima shalat ini hukumnya fardhu ‘ain, dibebankan kepada setiap muslim yang mukallaf, laki-laki ataupun perempuan, orang merdeka ataupun budak. Di sana ada pula shalat yang hukumnya fardhu kifayah yaitu shalat jenazah. Shalat ini hanya dibebankan kepada orang yang hadir di tempat tersebut, bila sudah ada yang menunaikannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. (Al-Muhalla, 2/3)
Kepada Siapa Shalat Ini Diwajibkan?
Shalat diwajibkan kepada setiap muslim yang mukallaf, yakni yang telah baligh dan berakal. Adapun orang yang belum baligh dan tidak berakal gugurlah darinya kewajiban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, orang gila sampai kembali akalnya atau sadar, dan anak kecil hingga ia besar.” (HR. Abu Dawud no. 4398 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 297)
Dengan demikian orang yang tidur dan pingsan, orang gila, dan anak kecil, tidak dibebankan kewajiban shalat atas mereka sampai hilang penghalang yang ada. Yakni orang yang tertidur telah bangun dari tidur, orang yang pingsan telah siuman dari pingsannya, orang gila telah pulih dari sakit gilanya atau telah kembali akalnya, sedangkan anak kecil telah datang masa balighnya, di antaranya dengan tanda mimpi basah (keluar mani) bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan5.
Digugurkan kewajiban shalat ini dari wanita yang sedang haid dan nifas. Bahkan haram bagi mereka mengerjakan shalat sampai suci dari haid atau nifas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ada yang bertanya sebab kaum wanita dikatakan kurang agama dan akalnya:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan kurang agamanya6.” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 238)
Terhadap shalat yang mereka tinggalkan dalam masa keluarnya darah tersebut, tidak ada keharusan untuk menggantinya (meng-qadha) di hari yang lain saat suci, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ada seorang wanita bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah suci dari haid?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 709)
Faedah
Orang yang tertidur atau lupa hingga terluputkan shalat wajib darinya, maka ia mengerjakan shalat yang luput tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا
“Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat (fardhu) maka hendaklah ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 684)
Dalam riwayat Muslim (no. 1567):
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat (terjaga dari tidur).”
Shalat Anak Kecil
Walaupun anak kecil belum diwajibkan mengerjakan shalat hingga ia besar atau baligh, namun dituntut dari walinya (orangtua atau pihak yang bertanggung jawab mengasuh anak tersebut) agar memerintahkan si anak mengerjakan shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun, dan menghukumnya dengan pukulan bila ia meninggalkannya ketika telah berusia sepuluh tahun dalam rangka pengajaran dan latihan, bukan karena pewajiban. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ. وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ. وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila meninggalkan shalat pada saat mereka telah berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud no. 495 dan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud dan Irwa`ul Ghalil no. 247)
Al-Imam As-Syaukani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya memerintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat bila mereka telah mencapai usia tujuh tahun, dan mereka dipukul bila tidak mau mengerjakannya pada usia sepuluh tahun….” (Nailul Authar,1/413)
Hukum Meninggalkan Shalat
Bila yang meninggalkan shalat tersebut tidak meyakini kewajiban shalat maka ulama sepakat bahwa orang tersebut kafir menurut nash/dalil yang ada7 dan ijma’. Namun bila meninggalkannya karena malas maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya maka orang itu kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Ia keluar dari Islam8, kecuali jika orang itu baru masuk Islam dan tidak berkumpul dengan kaum muslimin sesaatpun yang memungkinkan sampainya berita tentang wajibnya shalat padanya dalam masa tersebut. Bila ia meninggalkan shalat karena malas-malasan sementara ia meyakini akan kewajibannya -sebagaimana keadaan kebanyakan manusia, mereka tidak mengerjakan shalat karena malas padahal tahu hukum shalat tersebut- maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini9.” (Al-Minhaj, 2/257)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 “Ketenangan bagi mereka”, maksudnya kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Rahmat bagi mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 6/465)
2 Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 589.
3 Sehingga dalam hal ini, batil dan sesatlah bila ada yang memaknakan shalat dengan doa. Akibatnya ia enggan mengerjakan shalat sebagaimana yang dituntunkan, sembari mengatakan, “Cukup bagi kita berdoa, tanpa melakukan gerakan-gerakan berdiri, rukuk, dan sujud serta tanpa membaca bacaan-bacaan shalat.”
4 Karena ada yang dinamakan shalat nafilah atau shalat tathawwu’ atau yang lebih kita kenal dengan shalat sunnah.
5 Tanda-tanda baligh tidak terbatas dengan hal ini, karena ada anak perempuan telah mencapai usia dewasa namun belum baligh karena mungkin ada penyakit pada dirinya, maka masa balighnya dilihat pada tanda yang lain. Demikian pula anak laki-laki, ada tanda baligh yang lainnya seperti suaranya berubah, tumbuh rambut pada kemaluan, dan sebagainya.
6 Adapun wanita nifas hukumnya sama dengan wanita haid.
7 Seperti hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)
8 Orang yang menentang kewajiban shalat dihukumi kafir karena ia mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ijma’ kaum muslimin.
9 Akan datang pembahasan tersendiri dalam edisi mendatang –Insya Allah– tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan.
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=494
Leave a Reply