Arsip Materi

Radio Dakwah Online

Memperbaiki Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan (4)

Penulis: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin

Kedua belas : Anggapan bahwa bersuntik membatalkan puasa

Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus dan sejenisnya. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.

Ketiga belas : Perasaan ragu mencicipi makanan

Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk kedalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.

Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam), lafazhnya:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa”. Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 2/304 no 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no.8042 dan disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shohihnya 4/132 (Fathul Bary) secara mu’allaq dengan shighoh jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil 4/85-86.

Berkata Imam Ahmad : “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya maka tidak ada masalah baginya”. Lihat Al-Mughny 4/359.

Berkata Ibnu Aqail Al-Hambaly : “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan tidaklah mengapa. Akan tetapi bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, maka hal itu dapat membatalkan puasanya dan bila tidak masuk maka tidaklah membatalkan puasa”. Lihat Al-Mughny 4/359.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.108 : “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air”.

Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam bersama ta’liqnya 1/479-481.

Keempat belas : Meninggalkan berkumur-kumur dan menghirup air (ke dalam hidung) ketika berwudhu

Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyari’atkan pada setiap keadaan, dalam keadan berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa bolehnya kumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqith bin Saburah bahwasahnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan puasa”. Hadits shohih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no.80, Ath-Thoyalisy no.1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27, Abu Daud no.142, Tirmidzy no.788, Ibnu Majah no.407, An-Nasai no.87 dan Al-Kubra no.98, Ibnu Khuzaimah no.150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.1054,1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248,4/123, Al-Baihaqy 1/76, 4/261, 6/303, Ath-Thabarany 19/216 no.483 dan dalam Al-Ausath no.7446, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 18/223, Ar-Romahurmuzy dalam Al-Muhaddits Al-Fashil hal.579 dan Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal.209-210.

Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga didalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama dengan berkumur-kumur.

Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Robbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 6/406 dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.

Kelima belas : Anggapan bahwa tidak boleh mandi dan berenang atau menyelam dalam air

Anggapan tersebut adalah anggapan yang salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan wudhu sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk kedalam tenggorokannya.

Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357 : “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan”.

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya kedalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca:ada) dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari”.

Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.

Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 6/225-226 dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.

Keenam belas : Anggapan menelan ludah membatalkan puasa

Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja dimulut kemudian menelannya.

Berkata Ibnu Hazm : “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan para ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq”.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317 : “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ‘ulama)”.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473 : “Dan Apa-apa yang terkumpul dimulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya …”.

Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.

Lihat : Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.

Ketujuh belas : Anggapan tidak boleh mencium bau-bauan yang mengenakkan

Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.107: “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa”.

http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=4

Comments are closed.