Arsip Materi

Radio Dakwah Online

Ar-Radha’ (Hukum Penyusuan)

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Hubungan mahram bisa terjalin dengan tiga sebab: hubungan nasab, penyusuan, dan karena pernikahan. Kajian mahram karena hubungan nasab dan pernikahan telah dibahas dalam edisi sebelumnya. Edisi kali ini akan mengulas hubungan mahram karena sebab kedua, yaitu karena penyusuan. Namun sebelumnya kami bawakan hukum penyusuan ini secara umum untuk tambahan faidah ilmu bagi kami pribadi dan bagi pembaca, wabillahi taufiq.

Saat bayi mungil yang didamba sepasang suami istri telah lahir menghiasi hari-hari indah keduanya, seluruh anggota keluarga menyambut dengan penuh suka cita. Sang ibu mendekatkan sosok mungil itu ke dadanya maka dengan segera mulut kecilnya menempel untuk mulai menyusu. Demikian fitrah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Dengan hikmah-Nya Allah bebankan tugas menyusui itu kepada seorang ibu, setelah sebelumnya Dia Yang Maha Kuasa melengkapi tubuh sang ibu dengan organ menyusui.

Masalah penyusuan ini telah diatur hukum-hukumnya dalam syariat yang mulia ini1 dan pembahasannya turut mewarnai kitab-kitab para ulama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Tanzil-Nya yang agung:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf2. Tidaklah satu jiwa dibebani kecuali sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu mengalami kemudlaratan karena anaknya3, demikian pula seorang ayah4. Dan pewaris anak itu pun memiliki kewajiban yang sama.5 Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah , maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang (wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf. Bertakwalah kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 233)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini merupakan bimbingan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna yaitu selama dua tahun sehingga setelah lewat dua tahun tidaklah teranggap, karena itulah Allah menyatakan: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290)

Setelah usia dua tahun, air susu ibu bukan lagi sumber makanan bagi si anak namun ia telah berpindah kepada makanan yang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seorang anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berarti telah sempurna penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah kemahraman.”6 (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 104)

Menyusui anak selama dua tahun penuh ini bukanlah satu kemestian, sehingga boleh menyapihnya kurang dari dua tahun sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah di atas: “Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 3/107)

Namun keputusan untuk menyapih ini harus datang dari kedua orang tua dan berdasarkan musyawarah keduanya dengan melihat maslahat (kebaikan) untuk diri si anak (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf.” Dari sini kita tahu bolehnya menyusukan anak pada wanita lain. Kebiasaan menyusukan anak pada orang lain ini telah dikenal di kalangan bangsa Arab dan merupakan sesuatu yang lumrah bagi mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memiliki beberapa ibu susu, di antaranya Halimah As-Sa’diyyah.. Putra beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disusukan pada wanita lain sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وُلِدَ لِي اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي, إِبْرَاهِيْمَ. ثُمَّ دَفَعَهُ إِلىَ أُمِّ سَيْفٍ, اِمْرَأَةِ قَيْنٍ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ سَيْفٍ.

“Tadi malam lahir putraku, maka aku namakan dengan nama ayahku, Ibrahim.” Kemudian beliau menyerahkan Ibrahim, putranya, kepada Ummu Saif, istri Abu Saif seorang pandai besi.” (HR. Al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كاَنَ أَرْحَمُ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالىِ الْمَدِيْنَةِ. فَكاَنَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ. فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ. وَكاَنَ ظِئْرُهُ قَيْنًا. فَيَأُخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ.

“Tidak pernah aku melihat seorang pun yang paling penyayang kepada anak-anak daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adalah Ibrahim putra beliau disusui di sebuah perkampungan yang ada di Madinah. Suatu ketika beliau pergi menjenguk putranya dan kami ikut menyertai. Lalu beliau masuk ke rumah orang tua susu Ibrahim yang penuh dengan asap. Karena memang suami dari ibu susu Ibrahim seorang pandai besi. Beliau pun mengambil putranya dan menciumnya. Setelah itu beliau kembali.” (HR. Muslim no. 2316)

Ketika Ibrahim meninggal dunia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ ابْنِي. وَإِنَّهُ مَاتَ فِي الثَّدْيِ وَإِنَّ لَهُ لَظِئْرَيْنِ تُكَمِّلاَنِ رَضَاعَهُ فِي الْجَنَّةِ

“Anakku Ibrahim meninggal dalam usia menyusui (sumber makanannya adalah air susu) dan di surga ia memiliki dua ibu susu yang akan menyempurnakan penyusuannya.” (HR. Muslim no. 2316)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya menyusukan anak kepada orang lain.” (Syarah Shahih Muslim, 15/76)

Ulama menyenangi agar wanita yang menyusui si anak adalah wanita yang baik akhlaknya karena penyusuan itu dapat mengubah tabiat (Al-Mughni, 8/155), oleh karena itu mereka membenci bila seorang anak disusui oleh wanita kafir, fasik, jelek akhlaknya atau menderita penyakit berbahaya/menular. (Taisirul ‘Allam, 2/379)

Mahram karena penyusuan

Dengan disusukannya seorang anak (laki-laki) kepada wanita lain terjalinlah hubungan mahram antara wanita tersebut selaku ibu susu dan anak yang disusuinya (anak susu) beserta segenap keturunan dan kerabat ibu susu, sehingga haram bagi anak susu menikahi mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ …

“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan…” (An-Nisa: 23)

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menyebutkan dua golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan penyusuan, ibu susu dan saudara wanita sepersusuan. Adapun golongan wanita yang lain seperti anak perempuan karena susuan, bibi susu (saudara perempuannya ibu susu/khalah dan saudara perempuannya ayah susu/amah), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) juga haram dinikahi dengan bersandar pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ

“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).”8 (HR. Al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444)

Dengan demikian, ibu susu,9 saudara perempuan sepersusuan, anak perempuan susu,10 saudara perempuannya ibu susu (bibi/khalah susu), saudara perempuannya ayah susu (bibi/amah susu), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan (keponakan susu)11 dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) merupakan mahram bagi seorang laki-laki.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Setiap wanita yang haram (dinikahi) karena hubungan nasab maka diharamkan pula yang semisalnya karena hubungan penyusuan. Mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, amah, khalah, keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan dengan bentuk yang telah kami jelaskan dalam masalah nasab, berdalilkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam riwayat lain:

الرَّضَاعُ يُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ

“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (Al-Mughni, 7/87)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan: “Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi laki-laki (yang bukan anaknya), wanita ini menjadi haram (dinikahi) si anak (bila telah dewasa -pent.) karena wanita ini adalah ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak susu ini menikahi putri ibu susunya karena merupakan saudara perempuannya, haram baginya menikahi saudara perempuan ibu susu karena dia adalah khalahnya, haram baginya ibunya ibu susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putrinya ayah susu (suami ibu susu yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut) karena dia adalah saudara perempuannya, haram baginya saudara perempuan ayah susu karena dia adalah amahnya, haram baginya ibunya ayah susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak laki-laki ataupun anak perempuan ibu susu (cucunya ibu susu) karena mereka adalah putri-putri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya sepersusuan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 5/72)

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditawari oleh Ali bin Abi Thalib untuk menikahi putri pamannya, Hamzah bin Abdil Muththalib, beliau menolak dengan menyatakan:

إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِي. إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ

“Putri Hamzah tidak halal bagiku, karena dia itu putri saudara sepersusuanku.”12 (HR. Al-Bukhari no. 2645 dan Muslim no. 1446)

Demikian pula ketika terdengar kabar bahwa beliau akan melamar Durrah bintu Abi Salamah. Maka beliau menyangkal dengan menyatakan bahwa Durrah tidaklah halal bagi beliau, di samping karena Durrah adalah anak tiri beliau, putri dari istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, juga di karenakan Durrah ini adalah putri dari saudara lakil-laki beliau sepersusuan, karena beliau dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah.13 (HR. Muslim no. 1449)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits-hadits (dalam masalah) ini sepakat menyatakan adanya hubungan mahram karena penyusuan. Umatpun sepakat akan pastinya hal ini antara anak susu dan ibu susu, maka jadilah anak yang disusui itu seperti anaknya sendiri hingga haram selama-lamanya bagi si anak untuk menikahi ibu susunya. Dan halal bagi si anak untuk melihat ibu susunya, berduaan dengannya dan safar bersamanya.” (Syarah Shahih Muslim, 10/19).

Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Umat sepakat pula tentang tersebarnya hubungan hurmah (kemahraman sehingga haram untuk dinikahi) antara ibu susu dengan putra-putranya (keturunan) anak susu, antara anak susu dengan anak-anaknya (keturunan) ibu susu, dengan demikian anak susu itu keberadaannya seperti anak ibu susu secara nasab.” (Syarah Shahih Muslim, 10/19)

Kerabat-kerabat ibu susu merupakan kerabat bagi anak susu. Adapun kerabat anak susu selain anak turunannya14 tak ada hubungan antara mereka dengan ibu susu. (Nailul Authar, 6/370, Subulus Salam, 3/337)

Adapun dengan ayah susu, ulama berbeda pendapat. Ibnu ‘Umar, Ibnu Az-Zubair, Rafi‘ ibnu Khudaij, Zainab bintu Ummi Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha bin Yasar, Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin Abdirrahman bin Auf dan selainnya berpendapat tidak tersebar kemahraman ini ke ayah susu namun hanya terbatas di ibu susu. Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in dan fuqaha dari berbagai negeri seperti Al-Auza‘i dari penduduk Syam, Ats-Tsauri dan Abu Hanifah serta murid-murid keduanya dari penduduk Kufah, Ibnu Juraij dari penduduk Makkah, Malik dari penduduk Madinah, demikian pula Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan para pengikut mereka berpendapat tersebar kemahraman kepada ayah susu dan kerabatnya. (Fathul Bari, 9/183, Al-Muhalla, 10/4, Aunul Ma‘bud, 6/41, Al-Mughni, 7/87).

Pendapat jumhur inilah yang kuat, insya Allah, dengan didukung oleh hadits-hadits yang shahih, seperti hadits-hadits berikut ini:

Ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sedang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mendengar suara seorang lelaki minta izin masuk ke rumah Hafshah. Aisyah pun berkata: “Wahai Rasulullah, laki-laki itu minta izin untuk masuk ke rumahmu.” Rasulullah menjawab: “Aku lihat dia adalah si Fulan (ami/paman susunya15 Hafshah).” Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, bila Fulan masih hidup (ia menyebut nama ami/paman susunya) apakah ia boleh masuk menemuiku?” Rasulullah menjawab:

نَعَمْ. إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةِ

“Ya. Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (HR. Al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444)

Aflah, saudara laki-laki Abul Qu’ais, ayah susunya Aisyah, pernah datang minta izin untuk bertemu dengan Aisyah, ketika itu telah turun perintah berhijab dengan non mahram. Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan Aflah, hingga aku minta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena bukanlah Abul Qu’ais yang menyusuiku, tapi istrinya.”

Ketika datang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aisyah pun berkata: “Aflah saudara Abul Qu’ais, tadi datang minta izin untuk menemuiku, namun aku tidak suka mengizinkannya sampai aku minta izin kepadamu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Izinkan dia masuk menemuimu.” (HR. Bukhari no. 5239 dan Muslim no. 1445). Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada Aisyah bahwa Aflah adalah pamannya sehingga ia tidak perlu berhijab darinya.

Hadits di atas menunjukkan bahwa suami ibu susu kedudukannya seperti ayah bagi anak susu dan saudara laki-laki ayah susu kedudukannya seperti paman. Ini merupakan madzhab para imam yang empat sebagaimana pendapat jumhur sahabat, tabi‘in dan fuqaha. (Syarhu Az-Zurqani ‘ala Muwaththa’ Imam Malik, 3/309)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “(Dalam hadits Aisyah di atas menunjukkan) disyariatkannya mahram untuk minta izin bila ingin masuk menemui mahramnya.” (Fathul Bari, 9/184). Beliau rahimahullah menyebutkan bahwa saudara laki-laki dari ayah susu adalah mahram bagi anak susu.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga menegaskan hal ini dengan menyatakan terjalinnya hubungan mahram antara anak susu dengan ayah susunya, menurut pendapat jumhur ulama, sehingga anak susu seperti anaknya sendiri dan putra-putrinya ayah susu menjadi saudara si anak susu, saudara-saudaranya ayah susu baik laki-laki maupun perempuan menjadi paman dan bibinya anak susu, dan putra-putranya (keturunan) anak susu menjadi cucunya ayah susu. (Syarah Shahih Muslim, 10/19).

Dengan demikian bila seorang laki-laki/suami memiliki dua istri atau dua budak wanita, lalu keduanya hamil, melahirkan dan menghasilkan air susu, kemudian masing-masingnya menyusui anak orang lain, misalnya yang satu anak laki-laki sedangkan yang satu anak perempuan (kedua anak ini asalnya ajnabi/bukan mahram) maka dengan penyusuan tersebut kedua anak tadi menjadi mahram, haram bagi keduanya untuk menjalin hubungan pernikahan karena keduanya telah menjadi saudara sepersusuan dari ayah susu yang sama, walaupun ibu susu mereka berbeda. (Al-Muhalla, 10/2)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: “Tersebar pengharaman untuk menikah (karena hubungan mahram persusuan) dari sisi anak susu dan ayah susu (karena ayah susu inilah yang merupakan sebab keluarnya air susu si ibu susu dengan si ibu susu mengandung dan melahirkan anaknya) sebagaimana hal ini tersebar dalam hubungan kerabat/nasab. Adapun pada si anak susu hanya terbatas pada anak keturunannya saja.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 173)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Bila seorang bayi menyusu pada seorang wanita dengan lima susuan dalam usia (belum lewat) dua tahun, sebelum disapih, maka bayi itu menjadi anaknya dengan kesepakatan para imam. Dan suami dari wanita itu (yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut dengan melahirkan anak si suami) menjadi ayah bagi anak susu tersebut, demikian menurut kesepakatan para imam yang masyhur. Dan jadilah semua anak dari ayah dan ibu susu tersebut sebagai saudara anak susu, sama saja baik anak-anak tersebut dari pihak ayah susu saja (dari istrinya yang lain), atau dari pihak ibu susu (anak ibu susu dengan suaminya yang lain) atau anak-anak yang terlahir dari pernikahan keduanya (ayah dan ibu susu). Tidak ada perbedaan, dengan kesepakatan para imam, antara anak-anak yang menyusu bersama-sama anak susu tersebut, dengan anak-anak ibu susu yang dilahirkan sebelum terjadinya penyusuan tersebut atau sesudahnya. Maka jadilah kerabat ibu susu sebagai kerabat anak susu. Anak-anak dari ibu susu adalah saudara-saudaranya, cucu dari ibu susu adalah keponakannya (anak-anak dari saudara sepersusuannya adalah keponakannya), orang tua ibu susu (dan seterusnya ke atas) adalah kakek dan neneknya, semua saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu susu adalah paman (khal) dan bibinya (khalah). Demikian pula kerabat bapak susu merupakan kerabat anak susu sebagaimana terjalin kekerabatannya dengan ibu susu. Adapun kerabat anak susu dari nasab atau penyusuan, mereka adalah ajnabi (non mahram) bagi ibu susu dan kerabat ibu susu, karena itu dibolehkan saudara laki-lakinya sepersusuan untuk menikah dengan saudara-saudara perempuannya dari hubungan nasab dan sebaliknya. Adapun anak-anak perempuan dari paman dan bibi susunya (misan karena susuan), halal untuk dinikahi oleh anak susu sebagaimana yang demikian itu halal dengan sebab nasab. Semua hal ini disepakati oleh ulama.” (Taudlihul Ahkam, Abdullah Alu Bassam, hal. 120, Al-Fatawa Al-Kubra, 3/159-160)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Setiap wanita yang menyusui seorang laki-laki maka wanita itu haram dinikahi lelaki tersebut karena wanita itu adalah ibunya dengan sebab penyusuan. Diharamkan bagi lelaki tersebut untuk menikahi anak-anak perempuan ibu susunya karena mereka adalah saudara-saudaranya sepersusuan, sama saja apakah mereka dilahirkan sebelum terjadinya penyusuan tersebut ataupun sesudahnya. Sebagaimana haram baginya menikahi saudara-saudara perempuan ibu susunya karena mereka itu adalah bibi-bibi susunya (khalah). Haram pula baginya menikahi ibu-ibu dari ibu susunya karena mereka adalah nenek-neneknya. Demikian pula saudara-saudara perempuan dari ayah susunya (suami ibu susu) karena mereka adalah bibi-bibinya (amah). Diharamkan baginya menikahi ibu-ibu dari ayah susu karena mereka adalah nenek-neneknya dari penyusuan. Diharamkan baginya menikahi setiap anak perempuan yang menyusu dari air susu istrinya karena mereka adalah putri-putrinya. Demikian pula diharamkan baginya menikahi wanita yang menyusui istrinya.” (Al-Muhalla, 10/2)

Hubungan penyusuan ini berkaitan dengan pengharaman nikah dan semua perkara yang berkaitan dengan nikah, tersebarnya hubungan mahram dan keharaman untuk menikah antara anak susu dengan putra-putrinya ibu susu, dan kedudukan mereka seperti kedudukan karib kerabat dalam kebolehan memandang, khalwat (berdua-duaan) dan bolehnya bepergian jauh (safar) bersama saudara susu. (Fathul Bari, 9/170).

Namun tidak semua hukum pertalian nasab berlaku dalam hubungan mahram karena penyusuan, seperti anak susu dan ibu susu tidaklah saling mewarisi, tidak wajib bagi salah satu dari dua pihak untuk menafkahi pihak yang lain, tidak gugur dari ibu susu hukuman qishash bila ia membunuh anak susunya, tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan dan sebagainya. Sehingga dalam hukum ini keduanya seperti ajnabi (bukan mahram). (Fathul Bari, 9/170, Syarah Shahih Muslim, 10/19, Subulus Salam, 3/337).

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Footnote:

1 Diistilahkan dengan Ahkam Ar-Radha’ (hukum-hukum penyusuan)
2 Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni wajib bagi ayah si anak untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf yaitu menurut kebiasaan wanita-wanita semisal mereka di negeri mereka tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi sesuai dengan kemampuan ayah dalam kelapangannya, pertengahan hidupnya dan kesempitannya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan memberikan infak dari kelapangannya, dan siapa yang disempitkan rizkinya maka hendaklah ia menginfakkan dari apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan apa yang Allah berikan padanya.” (Ath-Thalaq: 7) (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/291)
3 Kemudharatan yang diderita sang ibu bisa dengan mencegahnya untuk menyusui anaknya atau si ibu tidak diberikan haknya berupa nafkah dan pakaian atau upah menyusui. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 3/110, Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 104)
4 Dengan si ibu menolak untuk menyusui anaknya karena ingin memudharatkan sang ayah atau ia menuntut tambahan dari apa yang wajib diberikan kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 3/110)
5 Bila ayah si anak telah meninggal sementara anak itu tidak memiliki harta, maka ahli waris anaklah yang menanggung kewajiban seperti kewajiban sang ayah dengan memberi nafkah dan pakaian kepada ibu yang menyusui. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.104)
6 Bila si anak disusui oleh wanita selain ibunya
7 Dan penyusuan itu membolehkan (menghalalkan) apa yang halal karena hubungan nasab (Fathul Bari, 9/170)
8 Yakni bila dari sisi nasab wanita itu haram dinikahi maka demikian pula dari hubungan penyusuan, misalnya saudara perempuan ibu (khalah) haram dinikahi oleh keponakannya, maka demikian pula saudara perempuan ibu susu , haram dinikahi oleh keponakannya karena susuan.
9 Termasuk pula ibunya ibu susu (nenek susu), neneknya ibu susu dan seterusnya ke atas.
10 Termasuk pula putrinya anak perempuan susu (cucu perempuan karena susuan) dan seterusnya ke bawah.
11 Termasuk pula cucu keponakan susu dan seterusnya ke bawah, sebagaimana ketentuan ini berlaku pada mahram karena hubungan nasab.
12 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Hamzah bin Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhu disusui oleh ibu susu yang sama yaitu Tsuwaibah, bekas budak Abu Lahab, sehingga selain sebagai paman, Hamzah juga saudara Rasulullah sepersusuan
13 Tsuwaibah ini ibu susu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum Halimah As-Sa‘diyyah
14 Seluruh anak keturunan si anak susu ini, baik itu anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
15 Ammi di sini adalah saudara laki-laki ayah susu.

Mahram Susuan

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Pada edisi terdahulu kita telah ketahui bila seorang bayi disusui oleh wanita selain ibunya (ibu susu) terjalinlah hubungan mahram antara keduanya beserta pihak-pihak tertentu yang terkait dengan keduanya. Namun hubungan mahram tersebut tidak dapat terjalin bila tidak menetapi ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu kapan/pada usia berapa penyusuan itu terjadi dan berapa kali terjadinya penyusuan (kadar penyusuan).

Kapan Terjadinya Penyusuan

Ulama berbeda pendapat dalam masalah pada usia berapa penyusuan seorang anak menjadikan terjalinnya hubungan mahram antara si anak dengan wanita yang menyusuinya. Sebagian ulama berpendapat penyusuan itu seluruhnya membuat terjalinnya hubungan mahram, sama saja apakah terjadinya ketika anak masih kecil ataupun sudah besar, dengan dalil hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tentang kisah Sahlah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyusui Salim maula Abu Hudzaifah, maka Sahlah berkata: “Bagaimana aku menyusuinya sementara dia sudah besar?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan berkata:

(( قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيْرٌ))

“Aku tahu Salim itu sudah besar.” (HR. Muslim no. 1453)

Mereka juga berdalil dengan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

….وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

“(Diharamkan bagi kalian menikahi)……ibu-ibu kalian yang menyusui kalian (ibu susu).” (An-Nisa: 23)

Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in, dan ulama berbagai negeri1 berpendapat; penyusuan yang dapat menjalin hubungan mahram adalah saat anak berusia di bawah dua tahun. (Syarah Shahih Muslim, 10/30).

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa mayoritas para imam berpendapat penyusuan tidaklah menjadikan hubungan mahram kecuali bila penyusuan itu terjadi saat si anak berusia di bawah dua tahun. Adapun di atas itu maka tidak menjadikan hubungan mahram antara dia dan wanita yang menyusuinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/290, 481)

Demikian pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ummu Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha dan jumhur ulama. Dan ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik dalam satu riwayat. Pendapat Al-Imam Malik yang lain adalah dua tahun dua bulan atau tiga bulan. Abu Hanifah berpendapat dua tahun enam bulan. Zufar ibnul Hudzail berpendapat selama anak itu masih menyusu sampai ia berusia tiga tahun.

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Seandainya seorang anak telah disapih sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita yang menyusui anak tersebut setelah penyapihannya maka tidaklah penyusuan ini menjadikan hubungan mahram karena air susu tadi kedudukannya sudah sama dengan makanan yang lain.”

‘Umar ibnul Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma pernah berkata: “Penyusuan yang terjadi setelah anak disapih tidaklah menjadikan hubungan mahram.” Mungkin keduanya memaksudkan usia dua tahun seperti pendapat jumhur ulama, sama saja apakah anak itu telah disapih ataupun belum disapih. Namun mungkin juga yang mereka maksudkan seperti ucapannya Imam Malik di atas, wallahu a`lam. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291, Aunul Ma’bud, 6/43)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka adalah penyusuan itu tidak menjadikan hubungan mahram kecuali bila anak susu itu berusia di bawah dua tahun. Adapun penyusuan yang terjadi setelah seorang anak berusia dua tahun penuh tidaklah menjadikan hubungan mahram. (Sunan At-Tirmidzi, 2/311)

Pendapat yang kedua ini berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعُنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.”

Sebagaimana pendapat ini bersandar dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, di sisi ‘Aisyah ada seorang lelaki yang sedang duduk. Beliau tidak suka melihat hal itu dan terlihat kemarahan di wajah beliau. ‘Aisyah pun berkata: “Wahai Rasulullah! Dia saudara laki-lakiku sepersusuan.” Rasulullah menanggapinya dengan menyatakan:

((اُنْظُرْنَ إِخْوَتَكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ . فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ))

“Perhatikanlah saudara-saudara laki-laki kalian sepersusuan. Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.2” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)

Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memastikan perkara menyusui ini, apakah penyusuan itu benar adanya dengan terpenuhi syaratnya yaitu terjadi di masa menyusu dan memenuhi kadar penyusuan. Abu ‘Ubaid berkata: “Makna hadits ini adalah anak itu bila lapar maka air susu ibu adalah makanan yang mengenyangkannya bukan makanan yang lain.”

Adapun anak yang sudah makan dan minum maka penyusuannya bukanlah untuk menutupi laparnya karena pada makanan dan minuman yang lain bisa memenuhi perutnya, berbeda dengan anak kecil yang belum makan makanan. (Fathul Bari, 9/179, Subulus Salam, 3/333, Nailul Authar, 6/368)

Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu berkata dalam Al-Ma‘alim: “Penyusuan yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram adalah ketika anak susu itu masih kecil sehingga air susu itu dapat menguatkannya dan menutupi rasa laparnya. Adapun penyusuan yang terjadi setelah ini, dalam keadaan air susu tidak dapat lagi menutupi rasa laparnya dan tidak dapat mengenyangkannya kecuali dengan memakan roti dan daging atau yang semakna dengan keduanya, maka tidaklah menyebabkan hubungan mahram.” (Aunul Ma‘bud, 6/43)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Penyusuan yang ditetapkan kemahraman dengannya dan dibolehkan khalwat karenanya adalah ketika anak yang disusui masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya karena perutnya masih lemah cukup terisi dengan susu dan dengan air susu ini tumbuhlah dagingnya. Dengan demikian ini jadilah si anak susu seperti bagian dari ibu susunya sehingga ia menyertai anak-anak ibu susu dalam hubungan mahram. Dalam hadits ini3 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seolah-olah mengatakan: “Tidak ada penyusuan yang teranggap kecuali yang bisa mencukupi dari rasa lapar atau memberi makanan dari rasa lapar.” (Fathul Bari, 9/179)

Jumhur ulama juga berdalil dengan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1162):

((لاَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَ كَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ ))

“Suatu penyusuan tidaklah mengharamkan (terjadinya pernikahan) kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa no. hadits 2150)

Adapun kisah Sahlah dengan Salim yang menjadi dalil bagi pendapat pertama maka hal itu merupakan pengecualian bagi orang yang keadaannya seperti Sahlah dan Salim.4

Kadar Penyusuan

Ahli ilmu pun berbeda pendapat dalam masalah kadar penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram.

Pendapat pertama: Penyusuan sedikit ataupun banyak itu terjadi akan menyebabkan terjalinnya kemahraman dengan syarat air susu tersebut sampai ke dalam perut. Demikian pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dihikayatkan pendapat ini oleh Ibnul Mundzir dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha, Thawus, Ibnul Musayyab, ‘Urwah ibnuz Zubair, Al-Hasan, Mak-hul, Az-Zuhri, Qatadah, Al-Hakam, Hammad, Malik, Al-Auza‘i, Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” (An-Nisa: 23)

Dalam ayat ini tidak disebutkan jumlah penyusuan yang menyebabkan anak susu haram menikahi ibu susunya.

Demikian pula hadits:

فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ

“Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)

tidak disebutkan berapa kali terjadi penyusuan.

Pendapat kedua: Minimal tiga kali penyusuan, sebagaimana pendapat yang lain dari Al-Imam Ahmad, pendapat ahlu dzahir kecuali Ibnu Hazm, pendapat Sulaiman bin Yasar, Sa’id bin Jubair, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Ibnul Mundzir dan Abu Sulaiman, berdalil dengan apa yang dipahami dari hadits:

لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)

Ummul Fadhl radhiallahu ‘anha menceritakan: Datang seorang A‘rabi (Arab badui) menemui Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau berada di rumahku. Badui itu berkata: “Wahai Nabiyullah, aku dulunya punya seorang istri, kemudian aku menikah lagi. Maka istri pertamaku mengaku telah menyusui istriku yang baru dengan satu atau dua isapan.” Mendengar hal tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

لا تُحَرِّم الإِمْلاجَةُ وَ الإملاجتَانِ

“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1451)

Pendapat ketiga: Hukum yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan bila kurang dari lima susuan, berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan di-mansukh-kannya (dihapus) hukum penyusuan yang sepuluh menjadi lima.

كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرَ رَضْعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحْرِمْنَ ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”

Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Az-Zubair, Asy-Syafi‘i dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.

(Lihat Al-Umm, 5/26-27, Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480-481, Subulus Salam, 3/331-332, Nailul Authar, 6/363)

Dari ketiga pendapat di atas, wallahu a‘lam, yang kuat adalah pendapat ketiga. Adapun ayat yang umum dalam permasalahan ini:

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”

dan dalil-dalil umum lainnya, dikhususkan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.”

dan dikhususkan dengan hadits ‘Aisyah:

كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرَ رَضْعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحْرِمْنَ ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”

Namun pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)

tidak secara jelas menunjukkan tiga dan empat kali penyusuan dapat menyebabkan keharaman, sehingga yang tersisa adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan lima kali susuan, wallahu ta‘ala a‘lam.

Al-Imam Asy-Syafi‘I rahimahullahu berkata: “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (Al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (10/9).

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu dalam Al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan yang hampir sama ketika menjelaskan ucapan Abul Qasim Al-Khiraqi: “Penyusuan yang tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram karena nasab -pent.) adalah lima kali penyusuan atau lebih.”

Dan bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan (Al-Umm, 5/27). Sama saja menurut pendapat jumhur ulama, baik air susu itu dihisap langsung oleh si bayi dari kedua payudara ibu susunya atau telah diperas sehingga si bayi meminumnya dari gelas misalnya, sekalipun ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang membatasi hanya air susu yang dihisap langsung dari payudara dengan berpegang pada makna menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat karena yang penting air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, bagaimana pun cara si bayi meminum air susu tersebut. (Lihat Fathul Bari, 9/148, Al-Muhalla, 10/7)

Ragu tentang jumlah penyusuan

Apabila seseorang ragu tentang jumlah penyusuan, apakah telah sempurna lima kali penyusuan sehingga menjadi haram seperti yang haram karena hubungan nasab ataukah belum, maka kata Ibnu Qudamah rahimahullahu: “Tidaklah ditetapkan keharaman tersebut karena dikembalikan kepada hukum asal.5 Sementara keraguan tidaklah dapat menghilangkan keyakinan sebagaimana bila seseorang ragu telah jatuh talak (cerai) atau tidak maka kembali pada hukum asal tidak ada talak.” (Al-Mughni, 7/537)

Susu hewan

Apabila seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang bukan mahram minum dari susu seekor kambing (yang sama), sapi ataupun unta maka tidaklah hal ini teranggap sebagai satu penyusuan, kata Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu. Namun hal ini hanyalah seperti makanan dan minuman biasa, dan tidak terjalin hubungan mahram antara kedua anak tersebut, karena yang demikian hanya berlaku untuk air susu manusia bukan air susu hewan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعُنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.”

(Al-Umm, 5/26)

Footnote:

1 Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat dua tahun enam bulan, Zufar yang berpendapat tiga tahun dan Al-Imam Malik dalam satu riwayat berpendapat dua tahun ditambah beberapa hari. (Syarah Shahih Muslim, 10/30)
2 Penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram dan menghalalkan khalwat adalah ketika anak yang disusui itu masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya.
3 Yaitu hadits: فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ
4 Insya Allah akan dijelaskan.
5 Hukum asalnya tidak ditetapkan keharaman seperti yang diharamkan dalam hubungan nasab, yakni tidak haram untuk menjalin pernikahan. Dan juga tidak halal apa yang halal karena hubungan nasab seperti tidak halal berkhalwat, dst

Menyusui anak yang sudah besar/dewasa

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, penyusuan itu kapan saja terjadi walau hanya sekali, maka ditetapkan hukumnya berdasarkan kemutlakan yang disebutkan dalam ayat. Akan tetapi As-Sunnah memberikan batasan lima kali susuan, sebelum anak itu disapih, karena penyusuan sebelum penyapihanlah yang memberi pengaruh hingga menumbuhkembangkan tubuh.

Dengan demikian tidaklah teranggap penyusuan yang kurang dari lima susuan dan tidaklah teranggap penyusuan ketika telah besar. Namun sebagian orang membantah hal ini dengan kisah Salim maula Abu Hudzaifah, di mana sebelumnya Abu Hudzaifah ini mengangkat Salim sebagai anak. Ketika Salim telah besar, istri Abu Hudzaifah merasa keberatan Salim masuk ke rumahnya. Maka ia pun minta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

أَرْضِعِيْهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ

“Susuilah Salim, niscaya engkau akan menjadi haram baginya (karena telah menjadi ibu susunya).”

Lalu bagaimana menjawab hal ini? Sebagian ulama menjawab bahwa hal ini merupakan kekhususan bagi Salim. Sebagian ulama yang lain mengatakan hal ini mansukh (dihapus hukumnya/tidak berlaku lagi). Sebagian ulama mengatakan, masalah penyusuan ketika telah besar, hukumnya umum dan jelas tidak terhapus. Pendapat inilah yang benar, akan tetapi hukum umumnya dikhususkan terhadap orang yang keadaannya seperti Salim maula Abu Hudzaifah.

Kami tidak mengatakan hukum ini mansukh (terhapus) karena di antara syarat menetapkan mansukhnya suatu hukum adalah adanya pertentangan dengan perkara lain dan tidak mungkin mengumpulkan perkara-perkara yang saling bertentangan tersebut, di samping adanya pengetahuan mana yang paling akhir dari perkara-perkara itu. Kami pun tidak mengatakan hukum ini khusus (bagi Salim) karena tidak didapatkan satu hukum dalam syariat Islam yang khusus berlaku untuk satu orang selama-lamanya, namun yang ada hanyalah pengkhususan sifat hukum tersebut, karena syariat itu adalah makna-makna yang umum dan sifat-sifat yang umum yakni hukum-hukum syariat berkaitan dengan makna-makna dan sifat-sifat bukan dengan individu-individu.

Dengan demikian tertolaklah bila dikatakan hukum ini khusus bagi seseorang yang bernama Salim dan tidak meliputi orang yang berada dalam makna hukum ini. Dengan demikian, seandainya ada orang yang mengambil seorang anak angkat sehingga anak tersebut sudah seperti anaknya sendiri, bebas keluar masuk menemui keluarganya dan mereka pun menganggapnya seperti bagian dari mereka, (padahal anak angkat itu sudah besar), istri orang ini pun terpaksa menyusui anak angkat tersebut agar ia tetap bisa keluar masuk menemui mereka, maka kami katakan boleh wanita tadi menyusui anak angkat tersebut.

Namun hal seperti ini di waktu sekarang tidak mungkin terjadi karena syariat telah membatalkan hukum mengangkat anak (tidak boleh lagi ada anak angkat yang kemudian dinasabkan kepada ayah angkatnya1).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسآءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian masuk menemui para wanita (yang bukan mahram).”

Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu dengan ipar ?”

Beliau menjawab: “Ipar adalah kematian.”

Seandainya ada penyusuan ketika telah besar niscaya Rasulullah akan mengatakan: “Ipar itu hendaklah disusui oleh istri saudara laki-lakinya,” hingga ia bisa masuk menemui istri saudara laki-lakinya tersebut. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan pengarahan dan bimbingan yang demikian itu. Dengan begitu diketahuilah setelah dibatalkannya hukum anak angkat, penyusuan ketika telah besar tidak mungkin didapatkan lagi.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/409-410).

Footnote:

1 Lihat majalah Asy Syariah No. 09/I/1425 H, hal. 74

Sumber: Majalah Asy-Syari’ah, Vol.I/No.10-11/1425H/2004, Kategori: Wanita Dalam Sorotan, hal. 71-75 dan 71-75. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=200 dan http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=210.

4 comments to Ar-Radha’ (Hukum Penyusuan)

  • Ramadhan

    Walhamdulillah…begitu indahnya Dinul Islam mengatur seluruh sisi kehidupan kita.
    Lalu mengapa kebanyakan manusia masih tidak bersyukur??

  • Ramadhan

    Semoga Alloh memasukkan kita kedalam golongan hambaNya yang bersyukur.

    Saya punya saran..
    Bagaimana jika ada tulisan yang panjang dibagi dua (I dan II.Tentunya dengan judul yang sama agar pembaca tidak jenuh sehingga tulisan yang ditampilkan tersebut dan dipelajari/diambil faedahnya oleh pembaca.
    Pengalaman ana,..artikel artikel yang panjang sering ana kirim ke kawan-kawan.Lalu jika ana tanya apa artikelnya dibaca??
    Kawan-kawan banyak yang gak baca >Soalnya artikelnya terlalu panjang.
    Begitu kira – kira.

  • abuhasan

    assalamu’alaikum.
    ana mau nanya bagaimana hukum suami yang menyusu ke isterinya.
    jazakhallahukhairo.

  • nasyithoh

    salam..
    minta izin untuk copy page ini..syukran..

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>