Oleh: Asy-Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân hafizhahullâh
Termasuk kebiasaan para wanita (yang berpegang dengan aturan syariat), mereka mengenakan pakaian yang panjang sehingga dimungkinkan bagian bawah pakaiannya terkena najis atau kotoran ketika si wanita berjalan di jalanan. Bila demikian keadaannya apakah mereka boleh shalat mengenakan pakaian tersebut?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizahullah menjawab:
“Dimaklumi bahwa wanita butuh pakaian yang panjang (berhijab ketika keluar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, –pent.) di mana pakaiannya itu menjulur ke tanah demi lebih menutupi tubuhnya.2 Ini perkara yang bagus dan inilah yang dituntut untuk dilakukan oleh wanita, demi menutupi dirinya dan demi penjagaan terhadapnya.Adapun ia berjalan di atas tanah/jalanan dengan mengenakan pakaian tersebut maka hal itu tidaklah menjadi masalah, ia boleh shalat dengan mengenakan pakaian tersebut, terkecuali bila ia mengetahui dengan yakin bahwa pakaiannya itu terkena najis, maka ia harus menghilangkan najis tersebut dari pakaiannya, kemudian ia boleh shalat mengenakan pakaian tersebut. Adapun bila ia tidak tahu, apakah pakaiannya terkena najis atau tidak, maka hukum asal pakaian itu suci dan keberadaan pakaian itu terseret-seret di atas tanah atau permukaan bumi tidak menjadi masalah3 dan tidaklah dihukumi pakaian itu menjadi najis dengan semata-mata syak (keraguan apakah kena najis atau tidak), wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 1/215)
Footnote:
2 Laki-laki dilarang memanjangkan pakaian/sarungnya hingga menutupi mata kakinya, sementara wanita dikecualikan dari larangan ini dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ؟ قَالَ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. فَقَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya nanti pada hari kiamat.” Mendengar sabda beliau ini, bertanyalah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha (salah seorang ummahatul mukminin): “Lalu apa yang diperbuat wanita terhadap ujung-ujung (bagian bawah) pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah mereka menurunkan bagian bawah pakaiannya sejengkal (dari betis mereka).” Ummu Salamah berkata: “Bila demikian akan tersingkap telapak-telapak kaki mereka.” Nabi bersabda: “Turunkan sehasta tidak boleh lebih dari itu.” (HR. At-Tirmidzi no. 1731, kitab Al-Libas, bab Ma Ja’a fi Jarri Dzuyulin Nisa’, diriwayatkan pula oleh selain Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)
Ath-Thibi berkata dalam Syarhul Misykat (9/2898) yang maknanya adalah ketika Ummu Salamah mendengar hadits yang menyatakan bahwa pakaian/sarungnya seorang mukmin itu hanya sampai setengah betis, Ummu Salamah menyangka bahwa hukum tersebut juga mencakup dirinya (sebagai wanita). Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menerangkan padanya bahwa hukum tersebut khusus bagi kaum laki-laki. Adapun kaum wanita boleh menurunkan panjang pakaiannya sampai satu hasta dari bagian tengan betis.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani juga menyebutkan yang semisal ini dalam Fathul Bari, –pent.
3 Ummu Walad (budak wanita yang telah melahirkan anak untuk tuannya) milik Ibrahim bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf pernah bertanya kepada Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anha: Aku adalah wanita yang memanjangkan ujung/bagian bawah pakaianku sementara aku biasa berjalan di tempat yang kotor.” Ummu Salamah menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Tanah yang setelahnya akan membersihkan ujung pakaian itu.” (HR. Abu Dawud no. 383, kitab Ath-Thaharah, bab Fil Adza Yushibu Adz-Dzail. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud)
Dalam ‘Ainul Ma’bud dijelaskan bahwa tempat yang dilewati setelah tempat yang kotor tersebut akan membersihkan ujung pakaian itu dari kotoran. Al-Khaththabi berkata: “Imam Asy-Syafi’i mengatakan pembersihan ini didapatkan hanyalah bila kotoran yang dilewati itu telah kering sehingga tidak ada sesuatu yang menempel/melekat pada pakaian. Adapun bila pakaian itu diseret melewati kotoran yang basah maka tidak dapat dibersihkan kecuali dengan mencucinya.
Al-Imam Ahmad berkata: ‘Bukan maknanya bila pakaian itu terkena kencing kemudian orang yang memakainya melewati tanah, maka tanah itu dapat mensucikannya. Namun maknanya orang itu melewati suatu tempat hingga mengotori pakaiannya kemudian melewati tempat yang lebih baik/bersih dari tempat yang sebelumnya, maka tanah di tempat yang bersih itu akan menghilangkan kotoran yang ada pada pakaiannya karena melewati tempat yang kotor sebelumnya.”
Al-Imam Malik menyatakan bahwa tanah itu sebagiannya mensucikan/membersihkan sebagian yang lain, hanyalah bila seseorang menginjak tanah yang kotor kemudian setelahnya ia menginjak tanah yang kering lagi bersih. Wallahu a’lam.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 25/1427H/2006, judul: Pakaian Panjang Wanita yang Terkena Najis, kategori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 90-91. Dinukil untuk http://akhwat.web.id)
Leave a Reply