Abu Abdillah Ahmad
Sesajen berarti sajian atau hidangan. Sesajen memiliki nilai sakral di sebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Acara sakral ini dilakukan untuk ngalap berkah (mencari berkah) di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau di berikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan ghaib, semacam keris, trisula dan sebagainya untuk tujuan yang bersifat duniawi.
Sedangkan waktu penyajiannya di tentukan pada hari-hari tertentu. Seperti malam jum’at kliwon, selasa legi dan sebagainya. Adapun bentuk sesajiannya bervariasi tergantung permintaan atau sesuai “bisikan ghaib” yang di terima oleh orang pintar, paranormal, dukun dan sebagainya.
Banyak kaum muslimin berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan).
Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/fitrah meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas dijadikan tempat meminta, mengadu, mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Fitrah inilah yang mendorong manusia terus mencari Penguasa yang maha besar? Pada akhirnya ada yang menemukan batu besar, pohon-pohon rindang, kubur-kubur, benda-benda kuno dan lain-lain, lalu di agungkanlah benda-benda tersebut. Pengagungan itu antara lain diekspresikan dalam bentuk sesajen yang tak terlepas dari unsur-unsur berikut: menghinakan diri, rasa takut, berharap, tawakal, do’a dan lainnya. Unsur-unsur inilah yang biasa disebut dalam islam sebagai ibadah.
Islam datang membimbing manusia agar tetap berjalan diatas fitrah yang lurus dengan diturunkannya syari’at yang agung ini. AllahTa’ala menerangkan tentang fitrah yang lurus tersebut dalam Al Qur’an (yang artinya): “Rasul-rasul mereka berkata apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi?” (QS. Ibrahim: 10).
Allah juga berfirman (yang artinya): “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Ar Rum: 30).
Berkenaan dengan ayat-ayat diatas, nabi pun bersabda (yang artinya): “Setiap anak dilahirkan diatas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau penyembah api.” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Hurairah, Al Irwa’: 1220).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Qudsi (yang artinya): “(Allah berfirman) Aku menciptakan hamba-hamba-Ku diatas agama yang lurus (hanif) lalu syetan menyesatkan mereka.” (HR. Muslim dan Ahmad dari shahabat ‘Iash bin Himar).
Imam Ibnu Abil Izzi menerangkan, “Bahwa bayi itu terlahir sesuai dengan fitrah.” Artinya bukan dalam keadaan kosong jiwanya, melainkan mengerti tauhid dan syirik.” (Syarah Aqidah Thahawiyah: 83).
Fitrah ini akan tetap terjaga dengan cara menghambakan diri kepada Allah sepenuhnya. Inilah yang disebut dengan tauhid ibadah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
lbnu Katsir menerangkan ayat ini bahwa, “Allah menciptakan manusia dan jin agar mereka menyembah-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir surat Ad Dzariyat.: 56).
Ibadah yang penting untuk diketahui adalah ibadah hati seperti do’a, takut, berharap, tawakal, cinta dan lain-lain. Semua bentuk ibadah yang agung itu haruslah ditujukan kepada Allah semata, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kamu menyeru bersama Allah itu seorangpun!” (QS. Al Jin: 18).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Ali Imran: 175).
Allah berfirman (yang artinya): “Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaknya ia beramal shalih dan jangan melakukan kesyirikan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan seorangpun.” (QS. Al Kahfi: 110).
Pengharapan yang dibarengi ketundukan dan penghinaan diri haruslah ditujukan kepada Allah semata. Jika seseorang memperuntukkan raja’ (harapan) seperti ini kepada selain-Nya, sesungguhnya ia telah berbuat kesyirikan. Syariat Islam tidak melarang ummatnya untuk memiliki sikap raja’ akan tetapi raja’ yang dipuji dan dianjurkan adalah yang diiringi dengan amal shalih dan taubat dari kemaksiatan (SyarahUshuluts Tsalasah: 53).
Allah juga berfirman (yang artinya): “Dan hanya kepada Allah hendaklah kamu bertawakal jika benar-benar kamu orang-orang beriman.” (QS. Al Maidah: 23)
Tawakal berarti menyandarkan segala urusan kepada-Nya semata baik itu urusan yang mendatangkan keuntungan maupun yang mengakibatkan kerugian atau madharat.
Keterangan-keterangan diatas menunjukkan bahwa acara ritualis sesajen bertentangan dengan syariat Islam yang murni. Sebab didalamnya mengandung pengagungan, penghambaan, pengharapan, takut yang semestinya hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Mudah-mudahan Allah jauhkan kita dari segala bentuk kesyirikan. Allahu Ta’ala A’lam.
Dinukil dari Risalah Dakwah Al Atsari Cileungsi
Edisi 13/Th. II 1420
Judul Asli: Sesajen Adakah Dalam Islam?
Sumber: http://www.darussalaf.or.id versi offline
cara bertemu dengan sedulur papat gimana ya cara nya …………
Sesajen pada dasarnya menurut Al-qur’an adalah perbuatan syrirk, maka harus ditinggalkan.
Qs
وَجَعَلُواْ لِلّهِ مِمِّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأَنْعَامِ نَصِيباً فَقَالُواْ هَـذَا لِلّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَـذَا لِشُرَكَآئِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ فَلاَ يَصِلُ إِلَى اللّهِ وَمَا كَانَ لِلّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَآئِهِمْ سَاء مَا يَحْكُمُونَ
waja’aluu lillaahi mimmaa dzara-a mina alhartsi waal-an’aami nashiiban faqaaluu haadzaa lillaahi biza’mihim wahaadzaa lisyurakaa-inaa famaa kaana lisyurakaa-ihim falaa yashilu ilaa allaahi wamaa kaana lillaahi fahuwa yashilu ilaa syurakaa-ihim saa-a maa yahkumuuna
[6:136] Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka508. Amat buruklah ketetapan mereka itu.
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلاَدِهِمْ شُرَكَآؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُواْ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
wakadzaalika zayyana likatsiirin mina almusyrikiina qatla awlaadihim syurakaauhum liyurduuhum waliyalbisuu ‘alayhim diinahum walaw syaa-a allaahu maa fa’aluuhu fadzarhum wamaa yaftaruuna
[6:137] Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya509. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggallah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.