Penulis: Bulletin Al Wala wal Bara’ Edisi XIX/03/08
Ibadah bila dilihat dari sisi lughowi mempunyai arti ketundukan dan kerendahan, sedangkan menurut makna istilahi ibadah adalah sebutan yang menyeluruh untuk setiap apa yang dicintai Allah dan diridhoiNya dari ucapan-ucapan dan amalan-amalan lahir maupun batin. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa: 10/149)
Adapun al-autsaan diambil dari asal kata al-watsan, yaitu sebuah nama yang digunakan untuk menyebutkan semua jenis peribadahan, seperti do’a, istighotsah yakni minta kelapangan dari segala kesempitan hidup, kondisi yang tidak menentu, kekacauan, ketakutan dan yang lainnya, kemudian isti’anah yakni meminta pertolongan dalam mendatangkan segala kemaslahatan dan menolak berbagai macam mudharat, lalu at-tabarruk, yakni dengan istilah orang sekarang: ngalap berkah dan lain-lainnya dari jenis ibadah yang diperuntukkan kepada selain Allah, seperti kuburan yang dianggap keramat, batu ajaib, paranormal, khodam setia atau rijalul ghoib (jin muslim atau kafir) dan seterusnya.
Sebagian orang barangkali beranggapan kalau watsan atau autsaan adalah patung dan berhala, sehingga praktek ibadatul autsaan hanyalah ditujukan bagi mereka-mereka penyembah patung atau berhala. Cara pandang model ini jelas keliru, sebab Allah telah berfirman dalam Al Qur`an mengenai perkataan Ibrahim kepada kaumnya,
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah autsaan, dan kamu membuat dusta.” (QS Al Ankabuut: 17)
Allah juga berfirman,
قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ”
“Mereka menjawab: Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.” (QS Asy Syu’araa: 71)
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ
“Ibrahim berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?” (QS Ash Shaffaat: 95). Maka, diketahuilah dari sini bahwa watsan atau autsaan digunakan untuk menyebutkan patung-patung dan selainnya yang diibadahi di samping Allah. (Fathul Majid: 292, cet. Al Bayaan)
Karena itu, siapapun orangnya yang berdo’a dan meminta pertolongan dalam mengatasi problema hidup kepada selain Allah -dalam perkara yang tidak dimampui oleh seorang pun dari makhluk dan menjadi kekhususan kekuasaan Allah-, maka dia telah terjerumus dalam praktek ibadatul-autsaan.
Di tengah-tengah sulitnya mencari penghidupan, ekonomi yang morat-marit, status sosial selalu menjadi ukuran, gaya hidup yang bonafid jadi idaman, memiliki pasangan hidup yang asli (anti selingkuh) jadi impian. Ketika kelezatan dunia menjadi target utama, maka orang-orang yang lemah keimanannya dan lemah pendiriannya mulai goyah terseok-seok ke sana ke mari ingin segera meraih kemudahan dan kelezatan dunia yang sebetulnya tak lebih dari sekedar fatamorgana.
Namanya juga memanfaatkan situasi dan kondisi sekaligus nyari rezeki. Paranormal, orang-orang pintar dan ustadz bin kiyai gadungan yang juga serba kesusahan segera bereaksi, seolah kehadiran mereka sebagai satu-satunya jalan keluar meski harus melakukan praktek syirik dan mengajak orang berbuat musyrik.
Mereka membuka layanan praktek ibadatul-autsaan 1 x 24 jam dengan kata-kata dan janji-janji manis sebagai daya tarik laris. Praktek yang dibukanya biasanya berkisar seputar: berhubungan dengan rijalul ghoib (jin muslim atau kafir), tarik rejeki, penglaris usaha, penolak bala, jauhkan perselingkuhan, tampil cantik dan menarik, datangkan aura pesona, perjodohan dan banyak lagi yang lainnya.
Media elektronik baik yang dibaca, didengar ataupun dilihat ikut berperan meramaikan suasana, sayangnya keberadaan media elektronik itu hanya sekedar alat untuk menjembatani wali-wali syaithon dalam menyebarkan propaganda praktek ibadatul-autsaan. Wa ilallahil musytaka…
Mendapati kenyataan yang demikian ini, akan bertambahlah keimanan dan keyakinan serta kehati-hatian dalam mengarungi kehidupan dan mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam keseharian bagi siapa yang membaca sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan ada di antara kalian yang mengikuti tata cara beragama orang-orang sebelum kalian, sampai-sampai kalau mereka masuk lubang biawak kalian pun turut memasukinya.” Para sahabat bertanya, “Apakah mereka itu Yahudi dan Nashrani?” Rasulullah menjawab, “Siapa lagi jika bukan mereka?!” (HR Bukhari Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini bahwa apa yang pernah dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashrani akan kembali dilakukan oleh ummat ini, satu peringatan agar kita selaku ummatnya selalu mawas diri jangan sampai terperangkap ke dalam praktek ibadah mereka. Tak salah bila kemudian Imam Sufyan ibnu Uyainah memvonis siapa saja yang berilmu namun rusak ada kemiripan dengan Yahudi dan ahli ibadah namun rusak ada kemiripan dengan Nashrani.
Ibadatul-autsaan bila ditelusuri dari awal historinya, jelas bukan bermula dari ummat ini, ia hanyalah warisan dari ummat-ummat yang menyimpang seperti disinggung dalam hadits di atas, ironinya justru umat ini yang malah gemar dan semarak mempraktekkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah bahwa Huyay bin Ahthab dan Ka’ab ibnul Asyrof datang ke Mekkah, maka berkumpullah orang-orang musyrikin di sekitarnya dan berkata, “Kalian (berdua) ahli kitab dan ahli ilmu, kabarkan kepada kami tentang kami dan Muhammad.” Huyay dan Ka’ab bertanya, “Apa bedanya kalian dan Muhammad?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang yang menyambung hubungan silaturrahim, menyediakan makanan dan minuman (bagi yang membutuhkan), menghilangkan kesusahan dan memberi minum para jama’ah haji. Sedangkan Muhammad adalah orang yang pelit dan selalu memutuskan silaturrahim, siapa yang paling baik, kami ataukah dia?” Ka’ab dan Huyay menjawab, “Kalian yang paling baik dan benar jalannya.” Maka turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاَءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut (yaitu syaithon dan semua yang diibadahi selain Allah) dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekkah) bahwa merekalah yang lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa: 51)
Di dalam ayat ini Allah beritakan ikhwal orang-orang sebelum kita yang diberikan kepadanya sebahagian Al Kitab (yakni Taurat dan Injil) di mana mereka percaya kepada jibt dan thaghut alias syetan dan semua yang diibadahi selain Allah dan inilah sesungguhnya praktek ibadatul-autsaan yang menjadi bagian dari agamanya mereka, ini pulalah fakta yang menggambarkan kalau ibadatul-autsaan bukan bagian dari agama kita dan bukan pula bagian dari praktek ibadah kita.
Pada ayat lainnya Allah menceritakan kebinasaan dan hukuman bagi orang-orang Yahudi karena mereka melakukan praktek ibadatul-autsaan. Allah berfirman,
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
“Katakanlah: Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasiq) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Maidah: 60)
Allah juga berfirman,
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: Jadilah kamu kera yang hina.” (QS Al Baqarah: 65)
Ayat inipun menjadi bukti bahwa ibadatul-autsaan adalah model ibadahnya Yahudi.
Bila kita menengok kembali sejarahnya para ashabul kahfi, sungguh sangat menakjubkan, seperti firman Allah,
مْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ ءَايَاتِنَا عَجَبًا
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS Al Kahfi: 9)
Namun demikian ternyata praktek ibadatul-autsaan telah terjadi saat itu jauh sebelum kita, yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin, para penguasa di zaman tersebut.
Ashabul kahfi adalah para pemuda yang beriman kepada Allah yang berada di dalam negeri syirik, mereka keluar dari negeri itu guna menyelamatkan aqidah lalu Allah mudahkan untuk mereka hingga menjumpai sebuah gua, mereka pun masuk ke dalamnya dan tertidur di dalamnya sampai waktu yang sangat panjang sekira tiga ratus sembilan tahun, seperti firman Allah,
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلاَثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعً
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS Al Kahfi: 25)
Mereka tertidur tidak membutuhkan makan dan minum, Allah bolak-balikkan tubuh mereka sehingga tidaklah membeku darah pada salah satu bagian tubuhnya. Ini semua termasuk hikmah Allah. Allah berfirman, “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.” (QS Al Kahfi: 18). (Al Qoulul Mufid: 478, cet. Ibnul Haitsam –Qohiroh-)
Pendeknya, ketika para Ashabul Kahfi itu terbangun dan diketahui keberadaannya oleh penduduk negeri, hingga mereka (para ashabul kahfi) meninggal dunia, maka para penguasa di waktu itu berkeinginan untuk membangunkan masjid di atas kuburan-kuburannya. Dan inilah praktek ibadatul-autsaan. Allah berfirman, “Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” (QS Al Kahfi: 21)
Para pembaca, semua kisah dan berita di dalam Al Qur`an ataupun As Sunnah yang memuat kejelekan suatu perbuatan, siksaan, kebinasaan, musibah, dan kehancuran yang telah menimpa orang-orang dan umat sebelum kita, bukanlah sebatas kisah dan cerita tanpa makna, bukanlah dongeng yang hanya diperdengarkan setiap pagi dan petang hari, bukan pula senandung penghantar tidur atau nina bobo. Tetapi semua itu adalah pelajaran yang berharga sehingga kita dapat memahami arti hidup ini.
Anda, kami, dan semua dibimbing dan dituntut untuk meyakini firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS Yusuf: 111)
Kehancuran, siksa, kebinasaan, dan keguncangan serta berbagai macam malapetaka yang telah melibas orang-orang dulu, umat sebelum kita disebabkan karena ulah perbuatannya yang menyimpang dan di luar kehendak Allah, akan kembali dirasakan dan terulang jalan ceritanya berikut episodenya pada umat ini, pada kita jika kita melakukan tindakan-tindakan yang sama seperti mereka.
Bila orang-orang sebelum kita mereka disiksa dan dibinasakan karena melakukan praktek ibadatul-autsaan, maka kita pun akan mengalami nasib yang sama jika melakukan hal yang sama.
Mengapakah kita rela menjual aqidah-aqidah kita yang teramat berharga dengan kelezatan yang usianya hanya sesaat, sehingga kita lebih memilih untuk mengabdi kepada al-andaad, al-aalihah, dan al-autsaan daripada mengabdi kepada Allah, Al Ahad laa syariikalah. Benarlah apa yang dikatakan Imam Sufyan Ats-Tsauri, “Tidak ada kebaikan dalam kelezatan yang ujungnya neraka.”
Bukankah kita tahu bahwa Allah lah yang telah berfirman,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al Kahfi: 28)
Anda, kami, dan kita semua sama-sama meyakini bahwa tidaklah Allah menciptakan kita melainkan telah disiapkan rizkinya, maka raihlah rizki itu dengan cara yang diridhoiNya, hadapilah kesulitan-kesulitan yang ada. Mengapakah kita lemah?! Kesulitan adalah sebuah tantangan guna mengukur daya keyakinan kita kepada Rabbul Izzah. Dibalik kesulitan ada kemudahan!!
Duhai bahagia rasanya… lega dan puas, tatkala kita bisa memasuki dan menempati sebuah rumah yang terbuat dari bambu namun pintunya dari besi, cobalah! Semoga Allah menolong kami dan kalian.
Wal ilmu indallah.
(Dikutip dari Bulletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-19 Tahun ke-3 /08 April 2005 M / 29 Shafar 1426 H, judul asli Fenomena Ibadatul-Autsaan. Penulis al Ustadz Abu Hamzah Yusuf. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. Url sumber: http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=19&th=3)
Sumber: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=904
Leave a Reply