Oleh: Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani
Bertauhid kepada Allah merupakan modal pokok untuk menggapai segala keberuntungan di dunia dan akhirat. Itulah rahmat Allah yang sangat luas bagi para pemeluk tauhid. Hak timbal balik ini merupakan ketetapan Allah bukan paksaan dan kehendak seorang pun. Allah membentangkan keutamaannya bagi siapa yang mau merealisasikan tauhid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,
“Wahai Mu’adz! Tahukah engkau hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba-Nya atas Allah? ”
Mu’adz menjawab: “Allah dan rasul- Nya yang lebih mengetahui.”
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kemudian bersabda,
“Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan hak hamba-Nya atas Allah adalah tidak menyiksa barangsiapa yang tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa Allah tidak menyiksa seorang yang beribadah kepada-Nya tanpa berbuat syirik. Maka tidak berbuat syirik belum cukup untuk menghindarkan dari azab Allah. Akan tetapi harus disertai dengan peribadahan kepada Allah.
Allah akan menyiksa seorang yang tidak mau beribadah kepada-Nya walaupun tidak berbuat syirik. Ini berarti ibadah kepada Allah dan tidak syirik harus dilaksanakan oleh seorang hamba secara berbarengan guna menggapai keutamaan ini. Sebab hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan terlepas dari berbagai noda syirik. Demikian pula status sebagai hamba Allah tidak akan melekat pada dirinya sampai dia mewujudkan peribadahan kepada Allah semata (lihat Al-Qaulul Mufid karya As Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 1/ 42-43).
Tentu setiap muslim berkeinginan masuk surga di samping selamat dari azab Allah. Masuk surga merupakan perkara yang sangat mereka idamkan. surga adalah tempat kesudahan yang baik bagi mereka. Syarat memasukinya adalah dengan bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Tauhid sangat berpengaruh dalam menentukan nasib seorang muslim guna menggapai keutamaan ini. Pelaksanaan tauhid secara murni dan tidak berbuat syirik sama sekali dapat memudahkan jalan menuju surga tanpa penghalang. Maka tingkat keberhasilan ini diukur dengan nilai tauhid yang telah dicapai oleh masing-masing personil dalam menjalaninya.
Namun siapapun orangnya selama dia memiliki tauhid maka tempat perhentian terakhirnya adalah surga. Ini perkara pasti yang bersifat mutlak. Walaupun sebagian mereka harus terlebih dahulu melalui kenyataan pahit yaitu merasakan siksa neraka.
Yang demikian dikarenakan nilai tauhidnya tidak sempurna akibat bercampur dengan perbuatan dosa besar tanpa bertaubat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, ‘dan Isa adalah hambanya, rasul-Nya, kalimat yang dianugrahkan-Nya kepada Maryam dan ruh dari sisinya, dan bersaksi bahwa (perihal) surga dan neraka itu adalah benar, Allah memasukkannya ke dalam surga walau bagaimana amalnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafidz ‘Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
“Makna sabda Rasulullah (… walau bagaimana amalnya) yaitu (amalnya) yang baik maupun yang buruk. Karena ahli tauhid mesti masuk surga. Mungkin pula maknanya: penduduk surga memasukinya sesuai dengan amalan masing-masing dari mereka dalam (menempati) tingkatan-tingkatannya.”
Sedangkan menurut Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, “Yang tertera dalam hadist ‘Ubadah khusus bagi seorang yang mengucapkan hal-hal yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Lalu menggandengkan dua kalimat syahadat dengan hakikat keimanan dan tauhid yang terlampir dalam haditsnya. Sehingga dia memperoleh pahala yang bisa memperingan timbangan dosa-dosanya, serta mengundang keampunan, rahmat dan masuk surga pada tahapan yang pertama.”
(lihat Fathul Majid karya Asy-Syaikh Abdurrahman Alus Syaikh hal. 60)
As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Masuk surga terbagi menjadi dua jenis:
Pertama, masuk yang sempurna. Tidak didahului dengan siksa bagi seorang yang menyempurnakan amalan.
Kedua, masuk yang kurang sempurna. Didahului dengan siksa bagi seorang yang kurang beramal.
Maka seorang mukmin bila dosa-dosanya mengalahkan kebaikan-kebaikannya, Allah akan menyiksanya sesuai dengan kadar perbuatannya dan bisa pula tidak menyiksanya jika berkehendak. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan syirik kepada-Nya dan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 116)”
(lihat Al-Qaulul Mufid 1/ 72)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharomkan api neraka bagi orang yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah), dengan hal itu dia mencari wajah Allah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan hadits ini, ”Sabdanya, (..dengan hal itu dia mencari wajah Allah) merupakan hakikat makna yang ditunjukkan oleh kalimat La Ilaha Illallah. Yaitu berupa memurnikan peribadahan kepada Allah dan meninggalkan syirik.
Sikap jujur dalam mengucapkannya dan keikhlasan (memurnikan ibadah) adalah dua perkara yang saling terkait erat. Tidak didapati salah satu dari keduanya tanpa yang lain. Maka barangsiapa yang tidak ikhlas (memurnikan ibadah) berarti dia seorang musyrik. Dan barangsiapa yang tidak jujur dalam mengucapkannya berarti dia seorang munafik.
Orang yang ikhlas dalam mengucapkannya adalah yang memurnikan ibadah kepada Zat Yang Berhak yaitu Allah bukan kepada yang selain-Nya. Inilah yang disebut dengan tauhid dan merupakan pondasi Islam.” (lihat Qurratul Uyun halaman 18)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Sesungguhnya seorang yang mencari wajah Allah harus menyempurnakan sarana-sarana yang mendukung pencariannya. Apabila dia menyempurnakannya maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak.
Demikian pula jika dia melakukan kebaikan-kebaikan dengan sempurna maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak. Namun jika dia kurang menyempurnakannya maka nilai pencariannya juga menjadi kurang. Sehingga kadar pengharoman neraka atasnya juga berkurang. Hanya saja tauhidnya mencegah dari kekekalan di dalam api neraka. Barangsiapa yang berzina, minum khomr atau mencuri, lalu dia mengucapkan persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dalam rangka mencari wajah Allah, berarti dia berdusta dalam persaksiannya. Karena nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda
“Tidaklah seseorang yang berzina sebagai mukmin ketika berzina.” (HR Al Bukhari-Muslim dari hadits Abu Hurairah)
Apalagi bila persaksiannya itu ingin dianggap dalam rangka mencari wajah Allah.”
(lihat Al-Qaulul Mufid halaman 1/74).
Wallahu a’lam bishshawab.
(bersambung ke bagian tiga insya Allah)
Sumber: Buletin Jum’at Al Muslim, diterbitkan oleh Panitia Kajian Islam Yogyakarta. http://ahlussunnah-bangka.com/2009/04/17/menggapai-keutamaan-tauhid-2/
Risalah terkait: Menggapai Keutamaan Tauhid (1)
Recent Comments