Penulis: Al-Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed
Iman yang secara bahasa bermakna percaya, di dalam syari’at bermakna sangat luas sekali. Mencakup kepercayaan dan keyakinan tentang ke-esaan Allah –Subhanahu wa Ta’ala– dalam Uluhuiyah-Nya, Rububiyah-Nya serta nama-nama dan sifat-Nya. Termasuk juga kepercayaan kepada seseorang yang diutus sebagai rasul –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Dan juga mencakup kepercayaan kepada semua apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits yang Shahih.
Tentunya lawan dari keimanan adalah kekufuran yang bermakna pengingkaran dan ketidakpercayaan. Maka barangsiapa yang percaya dengan semua yang kita sebut di atas adalah mukmin dan barangsiapa yang tidak percaya dan mengingkarinya maka dia kafir. Namun tidak hanya hitam dan putih, disana ada abu-abu, dari yang mendekati keimanan sempurna sampai mendekati kekufuran.
Yang demikian karena termasuk di dalam makna keimanan adalah pembenaran dan pembuktian dengan ucapan dan perbuatannya sehingga seseorang yang hatinya terlah percaya dengan ke-esaan Allah dan kerasulan Nabi-Nya, tetapi tidak mau mengikrarkan dua kalimat Syahadat dengan lisannya, dia tetap kafir dan tidak dinyatakan mukmin. Demikian pula seseorang yang katanya memiliki kepercayaan dalam hatinya dan mengucapkan ikrar dengan lisannya tetapi dalam prakteknya dia beribadah kepada selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala- atau mengikuti nabi lain selain Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, maka dia tetap kafir. Sehingga yang dikatakan iman adalah mencakup keyakinan dalam hati, ikrar dengan lisan dan pembuktian dengan amal. Semakin sempurna pembuktian tersebut semakin sempurna keimanan seseorang, jika berkurang maka berkurang pula keimanannya.
Karena itulah iman seseorang tidak sama dengan iman orang lainnya; ada yang tinggi, ada yang lemah, ada yang yakin, dan ada pula yang setengah-setengah. Yang demikian karena perbedaan amalan-amalan mereka, dan juga perbedaan tingkat kepercayaan mereka adalah Allah dan Rasul-Nya dan berita-berita yang tersebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Iman akan bertambah dengan amalan shalih; apakah amalan anggota badan, amalan lisan ataupun amalan hati. Sebagaimana Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyebutkan tentang bertambahnya iman pasa Shabat ketika mereka beramal dengan amalan shalih, diantaranya:
Bertambahnya keimanan dengan jihad
Saat para Shahabat diancam akan didatangkannya pasukan Ahzab –yakni setelah perang Uhud- kaum Mukminin sedah diuji oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- siapa yang ragu dengan janji-janji Allah, dia akan takut dan gelisah. Adapun orang-orang yang yakin kepada janji-janji Allah maka ancaman tersebut tidak menambah kecuali keimanan mereka.
“Yaitu ketika telah berkata manusia kepada mereka (orang-orang beriman): “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran:173[A1] )
Ketika para Shahabat berperang fisabilillah dalam perang Ahzab dan mereka menyaksikan betapa musuh-musuh Allah dalam jumlah besar mengepung mereka, maka justru kejadian tersebut menjadi sebab Allah menambah iman mereka. Allah –Ta’ala- berfirman:
“Tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kecuali iman dan ketundukan mereka” (Al-Ahzab:22)
Bertambahnya keimanan dengan ketaatan
Demikian pula ketika mereka dengan ikhlas mengikuti perintah Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- untuk berangkat ke Makkah –dalam keadaan mereka tahu bahwa musuh yang paling gencar mengganggu kaum Muslimin ketika itu adalah musyrikin Makkah. Maka terjadilah penghadangan oleh kaum Musyrikin Quraisy di daerah yang bernama Hudaibiyyah sehingga terjadilah Bai’atur-ridwan dan kemudian terjadilah perjanjian Hudaibiyyah.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan (Hudaibiyyah) yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)”. (Al-Fath:1-4)
Para ahli tafsir mengatakan; Al-Fath pada ayat ini adalah perjanjian Hudaibiyyah, karena perjanjian Hudaibiyyah membuka pintu-pintu dakwah yang luas ke seluruh dunia. Dan terbukti pula bahwa Hudaibiyyah adalah betul-betul kemenangan dan pembukaan dengan bertambahnya kaum Muslimin berlipat-lipat kali dalam waktu yang relatif singkat, yaitu ketika terjadinya Hudaibiyyah kurang lebih 1.500 orang, sedangkan tahun berikutnya menjadi 12.000 orang lebih.
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata: “Allah jadikan perjanjian Hudaibiyyah sebagai kemengangan (Al-Fath) karena maslahat dan akhir yang baik didapatkan oleh kaum muslimin dengan sebab perjanjian tersebut (Tafsir Al-Qur’anul-Adhim:4/192)
Lihatlah betapa amalan jihad dan ketaatan mereka kepada Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi bertambahnya keimanan mereka.
Bertambahnya keimanan dengan nasihat, dzikir dan peringatan
Demikian pula ketika orang-orang beriman mendapatkan nasehat dan peringatan atau disebut nama Allah dan dibacakan ayat-ayat-Nya, juga menambah keimanan mereka.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawwakal”. (Al-Anfaal:2)
Berbeda dengan munafiqin yang memang dari aslinya tidak memiliki keyakinan dan dihatinya dipenuhi keraguan, maka ayat-ayat Allah tidak menambah keimanan sedikitpun.
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya surat ini?” (At-Taubah:124)
Apa yang membedakan antara keduanya?
Perbedaannya adalah seperti 2 ladang; yang kesatu padang pasir yang tandus tidak bisa menahan air, sedangkan yang kedua adalah lahan yang subur, maka walaupun disiram dengan air hujan yang sama, pada padang pasir yang tandus tidak menambah apapun dan air itu hilang begitu saja. Sedangkan pada lahan yangsubur, dengan air tadi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menghasilkan buah-buahan.
Bertambahnya keimanan dengan berita-berita Al-Quran dan As-Sunnah
Ayat di ataspun menunjukkan bahwa kepercayaan kepada berita-berita Allah akan menambah keimanan, sedangkan keragu-raguan atau ketidakpercayaan terhadap berita-berita dari Allah dan Rasul-Nya akan menyebabkan ayat-ayat dan hadits-hadits tadi tidak berpengaruh sedikitpun.
Seperti pada berita jumlah Malaikat penjaga neraka yang 19, Allah menjadikannya sebagai fitnah dan ujian.
Apa hasilnya?
Hasilnya manusia terbagi menjadi beberapa golongan; bagi orang beriman akan menambah keimanan, bagi orang kafir justru menambah kekufuran mereka, seraya berkata: “Jagoan kami lebih dari 19”. Bagi orang Yahudi sebagai pembuktian bahwa apa yang dibawa Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- adalah haq seperti apa yang mereka ketahui dalam kitab mereka. Sedangkan bagi orang munafiq tidak menambah apapun, bahkan mencemooh: “Untuk apa dibawakan permisalan-permisalan seperti ini!”
Allah sebutkan yang demikian di dalam ayat-Nya:
“Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia” (Al-Mudatsir:26-31)
Demikianlah keadaan iman pada kaum Muslimin, tidak selalu hitam putih. Barangsiapa yang menganggap iman tidak bertambah dan berkurang maka ia telah menyelisihi ayat-ayat di atas. Barangsiapa yang menganggap hanya ada iman sempurna atau kafir, maka ia telah menyelisihi Al-Qur’an dan Hadits.
Sumber: Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 16 27 Rabii’ul Awwal 1429H / 04 April 2008M
Leave a Reply