Penulis: Salim Rasyid Asy-Syibli, Muhammad Khalifah Muhammad Rabaah
Telah pasti di dalam banyak hadits tentang disyari’atkannya khitan, di antaranya:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ
“Fitrah itu ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6297-Al–Fath, Imam Muslim (3/27- Imam Nawawi), Imam Malik di dalam Al-Muwattha’ (1927), Imam Abu Dawud (4198), Imam Tirmidzi (2756), Imam Nasa’i (I/14-15), Imam Ibnu Majah (292), Imam Ahmad di dalam Al-Musnad (2/229) dan Imam Baihaqi (8/323).
2. Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya ia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan:
قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Sungguh saya telah masuk Islam.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Buanglah darimu bulu (rambut) kekufuran dan berkhitanlah.”
Hadits hasan, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (356) dan Imam Baihaqi dari beliau (1/172) juga Imam Ahmad (3/415.
Berkata Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa’ (79): Ini adalah hadits hasan, karena hadits ini memiliki dua pendukung. Salah satunya dari Qatadah dan Abu Hisyam, sedangkan yang satu dari Wa’ilah bin Asqa’. Dan sungguh saya telah membicarakan tentang keduanya. Telah saya jelaskan juga di dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no. 1383) bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits ini.
3. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً
“Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.”
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6298-Al-Fath), Imam Muslim (2370), Imam Baihaqi (8/325) dan Imam Ahmad (2/322-418) dan lafadz hadits ini ada pada beliau.
Di dalam hadit-hadits di atas terdapat keterangan tentang disyari’atkannya khitan. Dan bahwasanya orang tuapun tetap diperintah untuk melaksanakannya, jika ia belum pernah berkhitan.
Khitan bagi Wanita
Adapun tentang disyari’atkannya khitan bagi para wanita, maka dalam hal ini ada beberapa hadits, di antaranya sebagai berikut ini:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha (seorang wanita juru khitan):
أُخْفُضِي وَلا تُنْهِكِي فَإِنَّه أَنْظَرُ لِلْوَجْهِ أَحْظَى لِلْزَوْجِ
“Khitanlah (anak-anak perempuan), tetapi jangan dipotong habis! Karena sesungguhnya khitan itu membuat wajah lebih berseri dan membuat suami lebih menyukainya.”
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (5271), Imam Al-Hakim (3/525), Imam Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil (3/1083) dan Imam Al-Khatib di dalam Tarikh-nya (12/291).
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan (khitan laki-laki dan khitan perempuan) sudah bertemu, maka sudah wajib mandi.”
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (108-109), Imam Syafi’i (1/36), Imam Ibnu Majah (608), Imam Ahmad (6/161), Imam Abdurrazzaq (1/245-246) dan Imam Ibnu Hibban (1173-1174-Al-Ihsan).
Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan khitan untuk para wanita. Maka ini menjadi dalil tentang disyari’atkan juga khitan ini bagi mereka.
3. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha secara marfu’:
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang lelaki telah berada di atas empat bagian tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh dengan khitan istrinya, maka sudah wajib mandi.”
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/291-Al-Fath), Imam Muslim (349-Imam Nawawi), Imam Abu ‘Awanah (1/289), Imam Abdurrazzaq (939-940), Imam Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Imam Baihaqi (1/164).
Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengisyaratkan adanya dua tempat khitan, yaitu pada seorang lelaki dan pada seorang perempuan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan juga dikhitan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: Di dalam hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita dahulu juga dikhitan.
Hendaklah diketahui bahwa khitan wanita merupakan hal yang ma’ruf (dikenal umum, red) di kalangan para salaf. Barangsiapa yang ingin menambah panjang lebar penjelasan tentang hal ini, silakan melihat kitab Silsilatul Ahaditsush Shahihah (2/353). Karena sesungguhnya Syaikh Al-Albani -semoga Allah melimpahkan pahala untuk beliau- telah menyebutkan banyak hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ini di dalam kitab tersebut.
Hukum Khitan
Pendapat yang rajih (kuat) adalah wajib. Dan itulah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang ada maupun kebanyakan pendapat para ulama. Dan telah pasti pula perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang yang baru masuk Islam untuk berkhitan. Kata beliau kepadanya:
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah darimu rambut/bulu kekufuran dan berkhitanlah.”
Maka perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang itu untuk berkhitan ini merupakan dalil terkuat yang menunjukkan tentang wajibnya.
Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah (hal. 69) berkata:
“Adapun hukum khitan, maka yang rajih menurut kami adalah wajib. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah. Beliau membawakan lima belas sisi dalam berdalil untuk mendukung pendapat ini. Meskipun masing-masing sisi tidak kokoh (dukungannya terhadap pendapat ini) ketika berdiri sendiri. Akan tetapi secara keseluruhan tidak diragukan lagi kuatnya sisi-sisi pendalilan tersebut. Hanya saja di sini bukan tempatnya untuk membicarakan semuanya, tetapi kami cukupkan di sini untuk menyebutkan dua sisi saja, yaitu:
1. Firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّتَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفَا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan…kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 123)
Khitan termasuk di antara millah (ajaran) Ibrahim sebagaimana terdapat di dalam hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan setelah ini. Dan ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Baihaqi yang juga disadur oleh Al-Hafidz di dalam Al-Fath (10/281).
2. Bahwa khitan itu merupakan syi’ar-syi’ar Islam yang paling nampak, yang membedakan antara seorang muslim dengan nashrani. Hingga kaum muslimin hampir-hampir menganggap orang yang tidak berkhitan itu tidak termasuk dari kalangan mereka (kaum muslimin).
Kami tambahkan pula sisi yang ketiga untuk mendukung dalil wajibnya hukum khitan, yaitu yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al-Fath (10/417) dari Abu Bakr Ibnul Arabi ketika beliau membicarakan tentang hadits:
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ…
“Fitrah itu ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan,…”
Kata beliau: “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.”
Hukum khitan ini umum untuk kaum pria maupun kaum wanita. Hanya saja tidak ada pada sebagian kaum wanita bagian tubuh yang dipotong untuk dikhitan, yaitu apa yang dinamakan dengan clitoris. Maka tidak masuk akal kalau kita perintahkan kepada mereka untuk dipotong (dikhitan), sedangkan hal itu tidak ada padanya.
Ibnu Hajj di dalam Al-Madkhal (3/396) berkata: “Diperselisihkan hukum khitan ini pada para wanita. Apakah mereka dikhitan secara mutlak ataukah dibedakan antara wanita Timur dengan wanita Barat. Adapun para wanita timur, maka mereka diperintahkan karena adanya bagian kemaluannya (untuk dipotong), yang lebih dari asal penciptaannya. Sedangkan para wanita barat, maka tidak diperintahkan kepada mereka keterangan tidak adanya hal itu pada mereka. Sehingga hal ini kembalinya kepada tuntutan ‘illah (sebab yang menetapkan hukum).
Waktu Khitan
Sungguh telah berlalu penjelasan tentang hukum khitan yaitu wajib. Dan termasuk di antara hal-hal yang telah diketahui di dalam ilmu ushul fiqh; bahwasanya suatu kewajiban menuntut agar dilakukannya perintah tersebut dengan segera. Sesungguhnya telah ada di dalam sebagian hadits penentuan waktu khitan, yaitu pada hari ketujuh.
Terdapat di dalam masalah ini tiga hadits yang menunjukkan bahwa khitan itu dilakukan pada hari ketujuh. Dan hadits-hadits tersebut tidak ada yang terluput dari perbincangan para ulama. Dan kami bawakan keterangan rinci tentang hal ini di dalam pembahasan berikut ini:
1. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
أنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ (وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَتِ أَيَّامٍ)
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain (dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh).
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil (3/1075), Imam Thabrani di dalam Ash-Shaghir (2/122), Imam Baihaqi di dalam Al-Kubra (8/324) dan di dalam Asy-Syu’ab (6/394) dari jalan sanad Muhammad bin Abis Sarii Al-Atsqalani mengatakan: Telah bercerita kepadaku Al-Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Muhammad bin Munkadir darinya. Dan berkata Imam Thabrani: Tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Munkadir kecuali Zuhair bin Muhammad. Akan tetapi tak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini yang menambahkan lafadz:
وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَتِ أَيَّامٍ
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.”
Kami katakan: Ini adalah sanad yang lemah, padanya ada cacat yang beruntun:
-
Pertama, Muhammad bin Abis Sarii -Abu ‘Ashim Al-Atsqalani. Al-Hafidz di dalam At-Taqrib berkata: Ia seorang yang shaduq dan ‘arif, tetapi banyak keliru (dalam periwayatan). Maka kami khawatir bahwa hadits ini termasuk di antara kekeliruannya.
-
Kedua, Al-Walid bin Muslim telah melakukan tadlis taswiyah dan menyebutkan riwayatnya dengan ‘an dari gurunya terus ke atas.
-
Ketiga, Zuhair bin Muhammad. Al-Hafidz di dalam At-Taqrib berkata: “Periwayatan ahlu Syam darinya tidak tetap. Oleh karenanya hadits ini dha’if.”
Beliau katakan juga dalam At-Tahdzib (3/301-302):
“Berkata Imam Bukhari: Hadits yang diriwayatkan oleh ahlu Syam darinya sesungguhnya merupakan hadits-hadits yang mungkar. Berkata Imam Abu Hatim: Kedudukannya sebagai orang yang jujur, tetapi hafalannya buruk. Dan haditsnya yang ada di Syam lebih mungkar dari haditsnya yang ada di Iraq. Berkata Al ‘Ajli: Ia tidak mengapa, tetapi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahlu Syam darinya tidak membuatku kagum.”
Kami katakan: Hadits di atas termasuk di antara riwayat-riwayat ahlu Syam, karena Al-Walid bin Muslim adalah seorang Dimasyqi Syamii (yakni penduduk Syam -ed). Lagi pula tambahan yang tersebut di dalam hadits di atas adalah mungkar. Di mana ada tujuh sahabat yang meriwayatkan hadits ini, tetapi mereka tidak menyebutkan adanya tambahan tersebut. Ketujuh sahabat tersebut adalah: Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah (riwayat Abu Zubair darinya), Anas bin Malik, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah ibnu Abbas, Buraidah Al-Aslami dan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Tidak seorangpun dari ketujuh sahabat tersebut yang meriwayatkan tambahan lafadz: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”. Hanya saja dipersilisihkan dalam tambahan ini atas Jabir radiyallahu ‘anhu.
Maka Abu Zubair meriwayatkan hadits ini darinya tanpa tambahan, sehingga mencocoki riwayat jama’ah shahabat yang lain, yaitu dengan lafadz: bahwasanya “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain”. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf (8/46), Imam Abu Ya’la (1933), Imam Thabrani di dalam Al-Kabir (2573). Diriwayatkan juga hadits ini oleh Muhammad bin Munkadir dari Jabir dengan tambahan tersebut, sedangkan illah-nya bukan darinya, karena ia sebagaimana dikatakan di dalam At-Tahdzib: Ia seorang yang tsiqah dan utama. Akan tetapi illah tersebut dari rawi yang meriwayatkan darinya sebagaiman penjelasan yang telah lalu.
2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata:
سَبْعَةٌ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّبِيِّ يَوْمَ السَّابِعِ يُسَمَّى وَيُخْتَنُ…” الحَدِثُ
“Tujuh perkara di antara Sunnah pada anak bayi di hari ketujuh adalah: dinamai, dikhitan,…” Al-Hadits.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani di dalam Al-Ausath (1/334-335) dari jalan sanad Rawwad bin Jaraah dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ darinya.
Al Hafidz di dalam At-Talkhis (4/84) berkata: Di dalam sanadnya ada Rawwad bin Jaraah seorang yang dha’if.
Juga beliau menyebutkan biografinya di dalam At-Taqrib dengan mengatakan: Ia seorang yang shaduq (jujur), tetapi kacau hafalannya di akhir umurnya sehingga ditinggalkan.
Imam Adz Dzahabi di dalam Diwanudh Dhu’afa’ wal Matrukiin (1/293) berkata: Ia dinyatakan tsiqah oleh Imam Ibnu Ma’in.
Imam Abi Hatim berkata: Kedudukannya sebagai orang yang jujur. Imam Daraquthni berkata: Ia dha’if.
Berkata Imam Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil (3/1039) berkata: Umumnya riwayat yang ia riwayatkan dari gurunya tidak diikuti oleh orang lain. Ia seorang syaikh yang shalih, akan tetapi di antara hadits orang-orang yang shalih ada hadits yang mungkar. Hanya saja ia termasuk orang yang ditulis haditsnya.
Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa’ (4/385) berkata: Saya katakan: Orang yang seperti itu keadaannya apakah haditsnya dianggap? Atau dijadikan hujjah? Baik sebagai penguat atau pendukung? Maka menurut kami harus diteliti. Wallahu a’lam.
Akan tetapi nampaknya syaikh Al-Albani memandang rajih untuk menjadikan hadits ini sebagai pendukung. Karena beliau menyatakan di dalam Tamamul Minnah (68) tentang hadits Ibnu Abbas dan hadits Jabir radiyallahu ‘anhuma: “Akan tetapi salah satu di antara kedua hadits ini memperkuat yang lain, karena makhrajnya berbeda dan di dalam sanad kedua hadits tersebut tidak ada rawi yang tertuduh.”
Catatan:
Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah tentang hadits Jabir (yang pertama) berkata:
“Hadits ini dinisbatkan oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath (10/282) kepada Imam Abu Syaikh dan Imam Baihaqi. Akan tetapi beliau mendiamkan saja. Barangkali hadits ini ada pada beliau berdua dari jalan yang lain.”
Kami katakan: Bahkan hadits tersebut diriwayatkan dari jalan sanad itu sendiri sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Fath (11/343) oleh Al Hafizh: Dan hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Syaikh dari jalan sanad Al-Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Ibnul Munkadir atau yang lain dari Jabir.
Maka hadits ini diriwayatkan dari jalan sanad Imam Thabrani sendiri, Imam Baihaqi maupun Imam Ibnu ‘Adi.
3. Dari Abu Ja’far ia berkata:
كَانَتْ فَاطِمَةُ تَعُقُّ عَنْ وَلَدِهَا يَوْمَ السَّابِعِ وَتخْتَنُهُ وَتَحْلِقُ شَعْرَ رَأْسهِ وَتَصَدَّقُ بِزِنَهِ وَرَقًا
“Dahulu Fathimah mengaqiqahi anaknya pada hari ketujuh sekaligus mengkhitannya, mencukur rambut kepalanya dan bershadaqah uang seberat timbangan rambutnya.”
Dikeluarkan hadits ini oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya (8/53) dari jalan ‘Abduh bin Sulaiman dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Abdul Malik bin Al-Lahyan dari Abu Ja’far.
Berkata Syaikh Muhammad ‘Id Al-‘Abasi: Abu Ja’far ini barangkali adalah Muhammad bin Ali bin Husain. Karena beliau orang yang paling masyhur dengan kuniyah tersebut. Demikian itu yang dituntut oleh kaidah-kaidah ilmu hadits. Maka berarti sanad hadits ini terputus karena Abu Ja’far tidak mendapati Fathimah radiyallanhu ‘anha.
Jadi jelas hadits ini adalah dha’if, hanya saja masih bisa dijadikan sebagai pendukung.
Ada juga di dalam Musnad Al-Firdaus karya Imam Dailami dari hadits Ali sebagai pendukung keempat. Hanya saja di dalam sanadnya ada seorang kadzdzab (pendusta besar), sehingga tidak bisa dijadikan sebagai pendukung. Maka secara umum tiga hadits di atas dengan keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits tersebut ada asalnya. Sehingga jadilah hadits ini hasan. Wallahu a’lam.
Hal ini (pelaksanaan khitan pada hari ketujuh) merupakan perbuatan bersegera kepada kebaikan sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Ta’ala:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.” (Ali Imran: 133)
Tidak diragukan lagi bahwa bersegera melakukannya lebih utama bagi seorang anak, di mana rasa sakitnya jelas lebih ringan. Berbeda dengan jika ditunda. Maka ketika itu sakit lebih terasa. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka tidaklah beliau memilih kecuali yang lebih mudah/ringan. Dan juga di dalam khitan terdapat penyingkapan aurat. Sedangkan penyingkapan aurat anak kecil lebih sedikit kejelekannya dari pada yang sudah besar.
Di samping itu terdapat sebuah atsar dari Ibnu Abbas ketika beliau ditanya: “Berapa umurmu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat?” Beliau menjawab: “Aku ketika itu sudah dikhitan. Dan dulu mereka tidak mengkhitan seseorang hingga ia menjadi anak yang paham (baligh).”
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (11/90-Al-Fath), Imam Ahmad (1/264-287-357), Imam Thabrani di dalam Al-Kabir (10/10575-10578-10579). Akan tetapi keduanya tidak mengeluarkan tambahan lafazh: Dan dulu mereka tidak mengkhitan….
Al-Isma’ili menganggap cacat atsar ini dengan alasan goncang, hal ini karena adanya perbedaan umur yang telah dicapai oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu. Maka beliau mengatakan: Sesungguhnya perkataan: “Dan dulu mereka tidak mengkhitan…”, adalah perkataan yang dimasukkan ke dalam atsar ini. Akan tetapi disanggah pernyataan beliau ini oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al-Fath (11/90), maka lihatlah kesana karena pentingnya hal ini.
Maka atsar ini menunjukkan atas bolehnya menunda khitan hingga anak tersebut mencapai usia baligh. Karena atsar tersebut menjelaskan tentang amalan kebanyakan para shahabat dalam hal khitan ini dan menunda hingga anak mencapai usia baligh. Dan tidak ragu lagi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah hidup bersama mereka. Maka kalau saja perbuatan mereka tersebut menyelisihi syari’at, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini kepada mereka. Sehingga hal ini merupakan indikasi yang mengalihkan perintah tersebut dari bersegera melakukannya. Hanya saja masih tetap ada wajibnya perintah ini, maka tidak boleh untuk menunda khitan tersebut sampai melebihi usia baligh.
Al-‘Allamah Al-Mawardi sebagaimana disebutkan di dalam Fathul Bari (10/342) berkata: Dalam hal khitan ada dua waktu; yaitu waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah ketika baligh dan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang terbagus adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Dan disukai agar tidak menunda dari waktu sunnah kecuali karena udzur.
Berkata Al-Haitsami di dalam Az-Zawajir (2/163):
“Yang benar bahwasanya jika kami menyatakan wajibnya khitan berarti meninggalkannya tanpa udzur adalah suatu kefasikan. Maka pahamilah bahwa pembicaraan hal ini hanyalah berkisar pada khitan bagi kaum pria bukan kaum wanita. Sehingga kaum pria dikatakan melakukan perbuatan fasiq dengan meninggalkan khitan ini. Dan jika perbuatan ini dikatakan sebagai kefasiqan, berarti itu merupakan dosa besar.”
Hiburan dalam Acara Khitanan
Dari Ummu ‘Alqamah ia menceritakan:
Bahwa keponakan perempuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dikhitan. Maka ada yang berkata kepada ‘Aisyah: “Bolehkah kami memanggil untuk mereka orang-orang yang memberikan hiburan?”
Maka beliau menjawab” Ya boleh.”
Lalu aku menyuruh agar dipanggilkan ‘Udi. Karena ia adalah seorang yang memiliki banyak sya’ir. Maka datanglah ia kepada mereka. Ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha lewat di rumah kami, maka beliau melihat ‘Udi sedang bernyanyi seraya menggoyang-goyangkan kepalanya dengan riang. Berkatalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha seketika itu: “Ih! Syaithan itu! Usir dia! Usir dia!”
Hadits hasan, dikeluarkan oleh Imam Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrad (1247).1
Maka hadits ini menjelaskan kepada kita tentang disyari’atkannya hiburan untuk anak yang dikhitan dalam acara khitanan, dengan tujuan agar ia melupakan rasa sakit yang dirasakannya dengan sebab khitan tersebut. Dan ini merupakan kesempurnaan perhatian syari’at kepadanya. Maka demikian itulah para salafush shalih radhiyallahu ‘anhum.
Akan tetapi sebaliknya, tidak boleh berlebih-lebihan dalam hiburan ini seperti apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang beupa nyanyian dengan alat-alat music dan melalukan walimah (makan-akan/pesta) maupun yang lain yang tidak dibiarkan oleh syari’at kita yang toleran ini.
Walimah Khitan
Tidak disyari’atkan walimah (pesta/makan-makan) dalam acara khitanan, karena tidak adanya nash yang enetapkannya. Bahkan ada atsar dari seorang shahabat, yaitu ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu yang mengingkari perbuatan ini. Dari Al-Hasan ia berkata:
دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ إِلَى خِتَانٍ فَأَبِى أَنْ يُجِيبَ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ إِنَّا كُنَّا لا نَأْتِي الْخِتَانَ عَلَى عَهدِ رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلا نُدْعى لَهُ
‘Utsman bin Abil ‘Ash pernah diundang untuk mendatangi acara khitanan. Maka beliau tidak mau mendatanginya. Lalu ada yang menanyakan hal itu kepadanya. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya kami dulu tidak pernah mendatangi acara khitanan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang (untuk mendatanginya).”
Hadits ini dha’if, diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (4/217) dan Imam Thabrani di dalam Al-Kabir (9/48). Juga dibawakan oleh Al-Haitsami di dalam Al-Majma’ (4/60) dan beliau mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Thabrani di dalam Al-Kabir. Dan di dalam sanadnya ada Ibnu Ishaq. Ia seorang yang tsiqah tetapi melakukan tadlis.
Meskipun atsar di atas tidak tsabit (tidak pasti shahih) dari sisi sanad, akan tetapi itulah hukum asalnya. Karena khitan adalah hukum syari’at. Maka segala apa yang ditabahkan kepadanya (dikaitkan dengannya) harus ada dalil baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Sedangkan walimah khitan (pesta/makan-makan yang berkaitan dengan khitan) merupakan sesuatu yang ditambahkan kepada acara khitan dan dikaitkan dengannya. Maka mengkaitkan acara ini butuh kepada dalil. Walahu a’lam.
Footnote:
1Berkata syaikh kami dan ustadz kami Syaikh Muhammad ‘Id Al-‘Abbasi atsabahullah: “Sanad hadits ini hasan, rawi-rawinya tsiqah kecuali Ummu ‘Alqamah yang bernama Murjanah. Al-Hafidz di dalam At-Taqrib berkata: Ia maqbulah (diterima riwayatnya), yakni ketika ada yang mengikuti. Akan tetapi ia seorang wanita tabi’iyah, di mana ada dua orang tsiqah yang meriwayatkan darinya; yaitu putranya sendiri ‘Alqamah dan Bakir bin Abdilah Al-Asyaj. Maka seorang rawi yang demikian itu keadaannya dianggap hasan haditsnya. Sebagaimana amalan yang telah berlaku pada kebanyakan ahli hadits seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Syaikh Al-Albani.”
Kami katakan: Sebelum mereka berdua adalah Al-Hafizh Imam Dzahabi dan Al-Hafizh Ibnu Rajab maupun Al-Hafizh Ibnu Katsir.
Syaikh Al-Albani berkata tentang hadits ini di dalam Ash-Shahihah (2/538): “Sanadnya masih mungkin untuk dinyatakan hasan. Karena rawi-rawinya tsiqah kecuali Ummu ‘Alqamah ini. Nama adalah Murjanah dan dinyatakan tsiqah oleh Al-‘Ajli maupun Imam Ibnu Hibban. Juga telah meriwayatkan darinya dua orang rawi yang tsiqah.”
Kami katakana: “Sungguh Al-Hafizh telah menyebutkan bahwa Imam Bukhari menyebutkan haditsnya di dalam bab haidh. Akan tetapi Imam Dzahabi membawakannya di dalam Al-Mizan (747) termasuk di antaranya wanita-wanita yang majhul (tidak dikenal).
Sumber: www.salafy.or.id setelah diedit dan dengan penambahan dari buku “Menyambut Si Buah Hati” (Judul asli: أحكام المولود في السنة المطهرة. Penerbit: Al-Maktab Al Islami Beirut) karya Salim Rasyid Asy Syibli dan Muhammad Khalifah Muhammad Rabaah, Bab Hal-hal yang Terjadi pada Hari Ketujuh setelah Melahirkan, Sub bab Khitan, hal. 147-165. Penerjemah: Abu Yahya Muslim. Editor: Tim Ash-Shaf. Penerbit: Ash-Shaf Media. Untuk http://akhwat.web.id. Silakan mengcopy dan memperbanyak dengan menyertakan url sumbernya.
Thanks for your excellent article. Here’s another informative article on the subject supporting your view:
There exist many ahadith to show the important place, circumcision, whether of males or females, occupies in Islam. Among these traditions is the one where the Prophet is reported to have declared circumcision (khitan) to be sunnat for men and ennobling for women (Baihaqi). He is also known to have declared that the bath (following sexual intercourse without which no prayer is valid) becomes obligatory when both the circumcised parts meet (Tirmidhi). The fact that the Prophet defined sexual intercourse as the meeting of the male and female circumcised parts (khitanul khitan, or in some narrations khitanain ‘the two circumcised parts’) when stressing on the need for the obligatory post-coital bath could be taken as pre-supposing or indicative of the obligatory nature of circumcision in the case of both males and females.
Stronger still is his statement classing circumcision (khitan) as one of the acts characteristic of the fitra or God-given nature (Or in other words, Divinely-inspired natural inclinations of humans) such as the shaving of pubic hair, removing the hair of the armpits and the paring of nails (Bukhari) which again shows its strongly emphasized if not obligatory character in the case of both males and females. Muslim scholars are of the view that acts constituting fitra which the Prophet expected Muslims to follow are to be included in the category of wajib or obligatory.
That the early Muslims regarded female circumcision as obligatory even for those Muslims who embraced Islam later in life is suggested by a tradition occurring in the Adab al Mufrad of Bukhari where Umm Al Muhajir is reported to have said: “I was captured with some girls from Byzantium. (Caliph) Uthman offered us Islam, but only myself and one other girl accepted Islam. Uthman said: ‘Go and circumcise them and purify them.’” More recently, we had Sheikh Jadul Haqq, the distinguished head of Al Azhar declaring both male and female circumcision to be obligatory religious duties (Khitan Al Banat in Fatawa Al-Islamiyyah. 1983). The fatwa by his successor Tantawi who opposed the practice cannot be taken seriously as we all know that he has pronounced a number of unislamic fatwas such as declaring bank interest halal and questioning the obligation of women wearing Islamic headscarves.
At the same time, however, what is required in Islam, is the removal of only the prepuce of the clitoris, and not the clitoris itself as is widely believed. The Prophet is reported to have told Umm Atiyyah, a lady who circumcised girls in Medina: “When you circumcise, cut plainly and do not cut severely, for it is beauty for the face and desirable for the husband” (idha khafadti fa ashimmi wa la tanhaki fa innahu ashraq li’l wajh wa ahza ind al zawj) (Abu Dawud, Al Awsat of Tabarani and Tarikh Baghdad of Al Baghdadi). This hadith clearly explains the procedure to be followed in the circumcision of girls. The words: “Cut plainly and do not cut severely” (ashimmi wa la tanhaki) is to be understood in the sense of removing the skin covering the clitoris, and not the clitoris. The expression “It is beauty (more properly brightness or radiance) for the face” (ashraq li’l wajh) is further proof of this as it simply means the joyous countenance of a woman, arising out of her being sexually satisfied by her husband. The idea here is that it is only with the removal of the clitoral prepuce that real sexual satisfaction could be realized. The procedure enhances sexual feeling in women during the sex act since a circumcised clitoris is much more likely to be stimulated as a result of direct oral, penile or tactile contact than the uncircumcised organ whose prepuce serves as an obstacle to direct stimulation.
A number of religious works by the classical scholars such as Fath Al Bari by Ibn Hajar Asqalani and Sharhul Muhadhdhab of Imam Nawawi have stressed on the necessity of removing only the prepuce of the clitoris and not any part of the organ itself. It is recorded in the Majmu Al Fatawa that when Ibn Taymiyyah was asked whether the woman is circumcised, he replied: “Yes we circumcise. Her circumcision is to cut the uppermost skin (jilda) like the cock’s comb.” More recently Sheikh Jadul Haqq declared that the circumcision of females consists of the removal of the clitoral prepuce (Khitan Al Banat in Fatawa Al Islamiyya.1983).
Besides being a religious duty, the procedure is believed to facilitate good hygiene since the removal of the prepuce of the clitoris serves to prevent the accumulation of smegma, a foul-smelling, germ-containing cheese- like substance that collects underneath the prepuces of uncircumcised women (See Al Hidaayah. August 1997). A recent study by Sitt Al Banat Khalid ‘Khitan Al-Banat Ru’ yah Sihhiyyah’ (2003) has shown that female circumcision, like male circumcision, offers considerable health benefits, such as prevention of urinary tract infections, cystitis and other diseases affecting the female reproductive organs.