Arsip Materi

Radio Dakwah Online

Siap Menikah Tapi Belum Diperbolehkan Ortu

Pertanyaan:
Bismillah…afwan ust ana tu sudah usia siap menikah tapi ana sama ortu d larang…padahal tujuan ana krn Allah kmdian ingin mnghindari fitnah…bgaimana cara ana ngmong baik2 k ortu berdasarkan Al Qur an dan hadits? jazakumullahu khoiron… (Ika Nur Malaya)

Dijawab oleh Ustadz Abu Usamah Yahya Al-Lijazy:

Bismillah, larangan orang tua bagi anaknya untuk menikah adalah suatu hal yang kerap terjadi di tengah masyarakat kita. Namun menyikapi tentang hal itu kita tidak harus terburu-buru berburuk sangka terhadap orang tua, melainkan harus mencari tahu terlebih dahulu sebab larangan tersebut. Khususnya seperti pertanyaan diatas, dimana didalamnya tidak dijelaskan alasan orang tua melarang beliau untuk menikah.
Sebatas yang kita ketahui, melarangnya orang tua bagi putrinya untuk menikah itu ada beberapa keadaan :

Pertama : Orang tua melarang putrinya menikah dengan laki-laki yang memang secara syar’i tidak boleh menjadi suami putrinya. Seperti laki-laki tersebut masih mahramnya, non muslim, atau dia muslim tapi tidak pernah mengerjakan kewajiban-kewajiban dalam islam sama sekali. Jika memang demikian maka larangan itu benar bahkan wajib.

Kedua : Orang tua melarang putrinya menikah dengan laki-laki yang tidak sesuai untuk kebaikan agama putrinya. Misalkan dia itu seorang peminum khamer, penipu, pencuri, penjudi dan semisalnya dari perbuatan-perbuatan fasiq. Yang seperti itu orang tua boleh melarangnya bahkan dianjurkan demi terjaganya agama putrinya, tentunya seiring dengan itu ada arahan untuk mencari laki-laki yang shalih dan bertaqwa.

Ketiga : Orang tua melarang putrinya menikah karena mereka rasa putrinya belum cukup umur, masih kuliah, dan sebagainya. Jika demikian kita hendaknya berbicara dengan orang tua dengan cara yang paling baik dan menjelaskan bahwa menikah adalah fitrah manusia dan termasuk bagian dari kebutuhan hidup manusia yang pokok setelah menginjak usia baligh dan memiliki keinginan terhadap lawan jenis. Sebagaimana hal ini juga dirasakan oleh para orang tua tatkala mereka masih muda. Dimana dan kapan saja yang diingat selalu lawan jenisnya.
Lalu, bagaimana perasaan kita sebagai orang tua yang apabila pada masa muda kita ingin menikah, namun dihalang-halangi oleh orang tua? Tentu kita akan merasa menderita, yang bisa jadi dampaknya kan berpengaruh terhadap aktivitas ibadah kita, selain adanya kekhawatiran terjatuh kedalam fitnah syahwat. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“ Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S An Nuur : 32 )

Apalagi putra-putri kita sudah menyatakan siap untuk menikah, hendaklah segera dinikahkan. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para pemuda untuk menikah jika sudah mampu. Seperti dalam sabdanya :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“ Wahai para pemuda, apabila kalian telah mampu menikah maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu benteng baginya” (H.R Muslim 4/128/3464)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
إذا جاءكم من تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فِتْنَةٌ فى الأرض وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Jika datang kepadamu seorang yang kamu senangi agama dan akhlaknya maka nikahkanlah (putrimu) dengannya. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan dipermukaan bumi ini.” (HR Tirmidzi: 1005, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Mukhtashor Irwaul Gholil 1/370)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah tatkala ditanya : ” Bagaimana hukum orang tua yang menghalangi putrinya yang sudah kuat (keinginannya) untuk menikah tetapi mereka masih menyuruh putrinya melanjutkan kuliah?”
Maka beliau menjawab: ” Tidak diragukan lagi bahwa orang tuamu yang melarangmu (menikah padahal kamu) sudah siap menikah hukumnya adalah haram. Sebab, menikah itu lebih utama dari pada menuntut ilmu, dan juga karena menikah itu tidak menghalangi untuk menuntut ilmu, bahkan bisa ditempuh keduanya. Jika kondisimu demikian wahai Ukhti! Engkau bisa mengadu ke pengadilan agama dan menyampaikan perkara tersebut, lalu tunggulah keputusannya.” (Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin 2/754)

Keempat : Orang tua melarang putrinya menikah dengan laki-laki karena pertimbangan duniawi semata, misalkan laki-laki tersebut kurang kaya, tidak punya kedudukan, kurang tampan, kurang mapan, tidak punya pekerjaan tetap dan sebagainya. Jika keadaannya demikian maka ada beberapa hal yang perlu kita jelaskan terlebih dahulu.
Pertama yang perlu kita fahami terlebih dahulu adalah bahwa seorang wanita itu memiliki hak untuk memilih calon suaminya, tanpa intervensi siapapun, baik orang tuanya bahkan negara sekalipun. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ وَلَا الثَّيِّبُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ إِذَا سَكَتَتْ
“Gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin, dan janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya.” Ada yang bertanya; ‘ya Rasulullah, bagaimana tanda izinnya? ‘ Nabi menjawab: “ tandanya diam.” (H.R. Bukhari 6/2555/6567)

Dalam riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha berkata :
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْجَارِيَةِ يُنْكِحُهَا أَهْلُهَا أَتُسْتَأْمَرُ أَمْ لَا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ تُسْتَأْمَرُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ لَهُ فَإِنَّهَا تَسْتَحْيِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَلِكَ إِذْنُهَا إِذَا هِيَ سَكَتَتْ
“Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai seorang gadis yang dinikahkan oleh keluarganya, apakah harus meminta izin darinya atau tidak?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Ya, dia dimintai izin.” ‘Aisyah berkata; Lalu saya berkata kepada beliau; “Sesungguhnya dia malu (mengemukakannya).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika dia diam, maka itulah izinnya.” (H.R. Muslim 4/140/3540)

Dua hadits diatas menerangkan bahwa seorang wanita itu, baik yang masih gadis maupun yang janda tetap memiliki peranan penuh dalam menentukan calon suaminya, bagi gadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dia dinikahkan sebelum dimintai izinnya, dalam kondisi janda Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam juga melarang dia dinikahkan sebelum diajak musyawarah untuk dimintai pertimbangan. Semua perlakuan ini menunjukkan bahwa wanita dalam kondisi apapun tidak boleh dipaksa menikah dengan seseorang yang tidak dia inginkan. Maknanya, hak penuh memilih ada pada tangannya, bukan ditangan walinya atau orang lain.

Bahkan suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah merekomendasikan kepada seorang wanita untuk menikahi seorang lelaki yang sangat mencintainya. Sayangnya wanita tersebut tidak mencintai lelaki itu sehingga dia menolaknya. Dalam keadaan tersebut Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tidak memaksa wanita itu untuk menikahi lelaki itu meski sang lelaki sangat mencintainya. Seperti yang terdapat dalam shahih Bukhari dalam riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menceritakan :
أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِي وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعبَّاسٍ يَا عَبَّاسُ أَلَا تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ رَاجَعْتِهِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْمُرُنِي قَالَ إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ قَالَتْ لَا حَاجَةَ لِي فِيهِ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya suami Barirah adalah seorang budak. Namanya Mughits. Sepertinya aku melihat ia selalu mengikuti di belakang Barirah seraya menangis hingga air matanya membasahi jenggot. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abbas, tidakkah kamu ta’ajub akan kecintaan Mughits terhadap Barirah dan kebencian Barirah terhadap Mughits?” Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “ andai saja kamu mau meruju’nya kembali (menikah dengannya).” Barirah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda menyuruhku?” beliau menjawab, “Aku hanya menyarankan.” Akhirnya Barirah pun berkata, “Sesungguhnya aku tak butuh sedikit pun padanya.” (H.R. Bukhari 5/2023/4979)

Mughits sangat mencintai Barirah. Besarnya cinta ini sampai membuat Mughits mengikuti kemanapun Barirah pergi dengan derai air mata yang membasahi janggutnya. Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam iba dengan penderitaan Mughits, lalu merekomendasikan Barirah agar berkenan menikah dengan Mughits. Ternyata Barirah menolaknya dan Nabipun tidak memaksa. Tidak adanya paksaan dari Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada Barirah kepada Mughits padahal Mughits sangat mencintai Barirah, menunjukkan bahwa memilih suami adalah hak penuh wanita hingga Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sendiripun tidak berani intervensi yang bersifat memaksa/menekan.

Bahkan seandainya sang putri dalam hal ini tidak mentaati orang tuanya, atau kalau boleh dikatakan membangkang terhadap perintah orang tuanya maka in syaa Allah tidak termasuk kedurhakaan kepada orang tuanya. Seperti dalam riwayat berikut ini :
عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِذَامٍ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
“Dari Khansa’ binti Khidzam Al Anshariyah; bahwa ayahnya mengawinkannya -ketika itu ia janda-dengan laki-laki yang tidak disukainya, kemudian dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau membatalkan pernikahannya. “ (H.R. Bukhari 6/2547/6546)
Dalam riwayat lain disebutkan :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ ابْنَةَ خِذَامٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibnu Abbas; bahwasannya anak perempuan Khidzam menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya, padahal ia tidak menyukainya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya hak untuk memilih. (H.R. Ahmad 1/273/2469)

Seandainya pembangkangan Khansa’ binti Khidzam kepada ayahnya dalam hal pilihan suami termasuk kedurhakaan, niscaya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam akan memerintahkan Khansa’ taat atas keputusan ayahnya dalam hal pilihan suami. Dan ternyata Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam justru memberikan pilihan kepada Khansa’ untuk membatalkan pernikahan atau melanjutkannya, maka hal ini menunjukkan bahwa memilih suami adalah hak besar wanita yang bahkan menjadi Takhsish atas keumuman perintah taat kepada Ayah/wali atau perintah berbakti kepada orang tua.

Dengan demikian menghalang-halangi wanita untuk menikah dengan lelaki yang telah menjadi pilihannya, tentunya yang sesuai dengan kriteria syari’i adalah kezaliman yang diharamkan oleh Islam dan disebut dalam pembahasan fiqh dengan istilah ‘Adhl. Adhl hukumnya haram. Allah berfirman ketika mengharamkan ‘Adhl :
فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“ Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan calon suaminya apabila telah ada saling ridha di antara mereka dengan cara yang ma’ruf (Al-Baqoroh; 232)

Ayat ini turun berkaitan ‘Adhl yang dilakukan seorang shahabat bernama Ma’qil bin Yasar yang tidak mau menikahkan saudarinya ketika dilamar seorang lelaki. At-Tirmidzi meriwatkan kisahnya;
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ زَوَّجَ أُخْتَهُ رَجُلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَكَانَتْ عِنْدَهُ مَا كَانَتْ ثُمَّ طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ فَهَوِيَهَا وَهَوِيَتْهُ ثُمَّ خَطَبَهَا مَعَ الْخُطَّابِ فَقَالَ لَهُ يَا لُكَعُ أَكْرَمْتُكَ بِهَا وَزَوَّجْتُكَهَا فَطَلَّقْتَهَا وَاللَّهِ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْكَ أَبَدًا آخِرُ مَا عَلَيْكَ قَالَ فَعَلِمَ اللَّهُ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا وَحَاجَتَهَا إِلَى بَعْلِهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ) إِلَى قَوْلِهِ (وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ) فَلَمَّا سَمِعَهَا مَعْقِلٌ قَالَ سَمْعًا لِرَبِّى وَطَاعَةً ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ أُزَوِّجُكَ وَأُكْرِمُكَ.
Dari Ma’qil bin Yasar bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia menikahkan saudarinya dengan seorang lelaki dari kaum muslimin, lalu saudarinya tinggal bersama suaminya beberapa waktu, setelah itu dia menceraikannya begitu saja, ketika masa Iddahnya usai, ternyata suaminya cinta kembali kepada waanita itu begitu sebaliknya, wanita itu juga mencintainya, kemudian dia meminangnya kembali bersama orang-orang yang meminang, maka Ma’qil berkata kepadanya; hai dungu, aku telah memuliakanmu dengannya dan aku telah menikahkannya denganmu, lalu kamu menceraikannya, demi Allah dia tidak akan kembali lagi kepadamu untuk selamanya, inilah akhir kesempatanmu.” Perawi berkata; “Kemudian Allah mengetahui kebutuhan suami kepada istrinya dan kebutuhan isteri kepada suaminya hingga Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ayat: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya.” QS Al-Baqarah: 231 sampai ayat “Sedang kamu tidak Mengetahui.” Ketika Ma’qil mendengar ayat ini, dia berkata; “Aku mendengar dan patuh kepada Rabbku, lalu dia memanggilnya (mantan suami saudarinya yang ditolaknya tadi) dan berkata; “Aku nikahkan kamu dan aku muliakan kamu.” (H.R At-Tirmidzi 5/216/2981)

Jadi segala bentuk menghalang-halangi pernikahan wanita dengan calon suami pernikahannya secara zalim termasuk ‘Adhl yang hukumnya haram. Adapun jika alasannya Syar’i seperti yang disebutkan diatas dan alasan-alasan lainnya seperti wanita masih di masa iddah, wanitanya seorang pezina yang belum bertaubat dan sebagainya maka menghalangi demikian tidak teramsuk ‘Adhl yang dilarang. Allahua’lam
Atas dasar ini, memilih calon suami adalah hak penuh wanita dan tidak boleh dihalang-halangi menikah dengan lelaki pilihannya. Dan saudari Penanya hendaknya memeriksa kembali kasusnya, apakah halangan dari keluarga bisa dikatakan Syar’i ataukah termasuk ‘Adhl. Jika halangannya Syar’i, maka hendaknya dia mentaati orang tuanya selama dalam hal yang ma’ruf, karena itu juga demi kebaikan anda sendiri di dunia dan akhirat.
Namun jika sudah terkategori Adhl maka silahkan melanjutkan dengan sikap yang bijak, dengan diusahakan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Dikarenakan wali yang melakukan ‘Adhl telah gugur hak perwaliannya dan berpindah pada wali yang terdekat. Jadi misalkan jika ayah gugur perwaliannya, maka hak perwalian untuk menikahkan pindah ke kakek (ayah-nya ayah), buyut (ayahnya ayah ayah), saudara, paman, dst sesuai aturan urutan wali dalam fikih Islam. Wallahua’lam bish shawab wa lahul musta’aan.

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>