بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Risalah Ringkas
Seputar Tuntunan Pelaksanaan
Shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha
1.Hukum Shalat Al-’Iedain ( Shalat dua hari Raya )
Keterangan:
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Islam seputar hukum shalat ‘Iedain , baik itu shala ‘Iedul Fithri ataukah shalat ‘Iedul Adha. Sebagian Ulama berpendapat shalat ‘Iedain adalah termasuk di antara shalat-shalat yang sunnah. Sebagian lainnya berpendapat shalat ‘Iedain fardhu kifayah dan yang lainya berpendapat shalat ‘Iedain shalat yang fardhu ‘ian.
Pendapat yang terakhir ini, adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang merupakan madzhab Imam Abu Hanifah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Bahkan Imam asy-Syafi’i, sebagaimana didalam Mukhtashar al-Muzani, menyatakan: “ Barang siapa yang diwajibkan baginya shalat jum’at maka wajib pula untukmenghadiri shalat ‘Ied.”
Pendapat ini juga merupakan pendapat ash-Shan’ani dan Shiddiq Hasan Khan.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat ‘Iedain:
Hadist Nabi shallahu ‘alaihi wasallam yang mana menyebutkan perintah beliau kepada kaum wanita, bahkan bagi yang dalam keadaan haidh untuk menghadiri shalat ‘Iedain. Kemudian bagi wanita yang haidh untuk mundur dibagian belakang shaf wanita disaat shalat didirikan.
Diringkas dari Kitab Tanwiir al-‘Ainain, dengan beberapa tambahan dari Kitab Nail al-Authar (asy-Syaukani rahimahullah), Subul as-Salam (ash-Shan’ani rahimahullah), asy-Syarh al-Mumti’ (Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah), Syarh Mukhtashar ‘ala az-Zaad (Syaikh al-Fauzan hafidzhullah) dan at-Ta’liqaat ar-Radhiyah (Syaikh al-Albani –rahimahullah) selain kitab-kitab Induk Fiqh lainnya.
Perintah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bagi para sahabat untuk mengerjakan shalat ‘Iedain, dan juga beliau turut serta para Khalifah sepeninggal beliau dan kaum muslimin hingga zaman ini. Bahkan tidak ada satupun negeri Islam yang meninggalkan pengerjaan shalat ‘Iedain.
Dan pula jika shalat ‘Iedain bertepatan dengan shalat jum’at, maka shalat jum’at menjadi gugur kewajibannya. Dan seperti ini tidaklah mungkin dipahami kecuali shalat ‘Iedain merupakan shalat yang wajib. Uraiannya akan disebutkan pada pembahasan berikutnya insya Allah.
2.Waktu Pengerjaan Shalat ‘Ied.
Keterangan:
Disenangi untuk menyegerakan pengerjaan shalat ‘ied. Dan yang paling utama, seseorang telah mendatangi mushalla ‘ied disaat matahari baru saja terbit, dan jika dapat dilakukan sebelum itu, maka lebih utama lagi.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, adalah amalan para sahabat radhiallahu ‘anhum:
1.Atsar Abdullah bin Umar. Berkata Nafi’, “Ibnu Umar biasanya mengerjakan shalat shubuh di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , kemudian beliau berangkat menuju mushalla ‘ied.“ [HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf 1/5609 dan juga Ibnul Mundzir didalam al-Ausath 4/260]
2.Atsar Salamah bin al-Akwa’. Dari jalan Yazid bin Abu’Ubaid, dia berkata, “Saya telah mengerjakan shalat shubuh bersama Salamah bin al-Akwa’ dimasjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian saya keluar bersama dengan beliau ke mushalla dan saya duduk hingga imam datang.”
3.Dan beberapa atsar juga dari ulama tabi’in, diantaranya atsar Umar bin Abdul Azis, Abu Abdirrahman as-Sulami, Ibrahim an-Nakha’i dan selain mereka.
3.Hukum Shalat ‘Ied bagi Musafir dan bagi orang sakit
Keterangan:
Adapun bagi musafir, maka tidak wajib baginya mengerjakan shalat ‘Iedain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, setelah menyebutkan tiga pendapat Ulama dalam masalah ini, salah satu diantaranya –yaitu pendapat pertama-, Bahwa mukimnya seseorang adalah syarat wajibnya shalat ‘Ied dan juga shalat jum’at. Dan ini merupakan pendapat mayoritas Ulama. Merupakan pendapat didalam madzhab Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad pada riwayat beliau yang paling shahih.
Alasannya: Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sekalipun mengerjakan shalat dan khutbah ‘Iedain dan jum’at disaat beliau besafar. Tidaklah beliau mengerjakan shalat ‘Ied di Mina, dan sewaktu Futuh Makkah yang pada saat itu terjadi di bulan Ramadhan, hingga datangnya hari ‘Ied, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mengerjakan shalat ‘Iedul Fithri. Demikian juga para khalifah sepeninggal beliau.
Sedangkan bagi seorang yang sakit, maka dia beroleh udzur tidak menghadiri shalat ‘Iedain di mushalla ‘Ied, jikalau tidak sanggup untuk bangkt berjalan menuju mushalla ‘ied. Dan bagaimanakah seorang yang sakit dan yang mempunyai udzur mengerjakan shalat pada hari ‘Iedain ? Pembahasannya akan disebuttkan pada point yang ketujuh, insya Allah.
4.Hukum Shalat ‘Ied bagi wanita
Keterangan:
Shalat ‘Ied bagi wanita hukumnya wajib.
Sandaran hukumnya:
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan didalam kitab Shahih mereka berdua dari hadits Ummu ‘Athiyah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kami mengajak kaum wanita keluar pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, yakni wanita-wanita yang telah berusia lanjut, wanita yang dalam keadaan haidh dan juga gadis belia. Adapun wanita yang dalam keadaan haidh maka mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari mushalla ‘ied, dan menyaksikan kebaikanyang ada pada hari itu serta menyaksikan dakwah kaum muslimin.”
Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Saudaranya meminjamkan jilbabnya baginya”.
5.Sunnah mengerjakan Shalat Al-‘Iedain dikerjakan di lapangan terbuka (Mushalla)
Keterangan:
Termasuk diantara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluar mengerjakan shalat ‘Iedain (‘iedul fithri dan ‘iedul adha di lapangan terbuka/mushalla), kecuali jika ada udzur.
Sandaran hukumnya :
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Sa’id al-Khudri, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya keluar pada hari ‘iedul fithri dan ’iedul adha menuju mushalla. Dan yang pertama kali beliau kerjakan adalah shalat, setelah itu beliau berbalik menghadap kepada kaum muslimin, dimana mereka duduk dishaf-shaf mereka. Lalu beliau menasihati dan memberi wasiat kepada mereka serta memerintahkan kepada mereka .. “
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidaklah seorangpun dari kaum muslimin mengerjakan shalat ‘ied di masjid kabilahnya dan tidak juga dirumahnya. Sebagaimana mereka tidaklah mengerjakan shalat jum’at di masjid-masjid kabilah.“ (Majmu’ Al-Fatawa 4/480 )
Berkata Ibnul Mundzir didalam al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied (mushalla) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“
6.Hal-hal yang Sunnah sebelum pelaksanaan Shalat ‘Ied
Mandi sebelum menuju Mushalla ‘Ied
Keterangan:
Disunnahkan untuk mandi sebelum menuju Mushalla ‘Ied.
Sandaran hukumnya:
Atsar dari Abdullah bin ’Umar radhiallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’, beliau berkata, “Ibnu Umar senantiasa mandi pada hari ‘Iedul Fithri sebelum beliau menuju ke mushalla ‘ied.”
Atsar ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq didalam Mushannaf beliau, asy-Syafi’I didalam al-Umm dan al-Musnad serta selainnya.
Sebagian ulama bahkan menyatakan adanya konsensus diantara ulama Islam bahwa mandi sebelum menuju mushalla ‘ied adalah perbuatan yang baik dan sunnah. Diantara mereka Ibnu Abdil Barr didalam al-Istidzkar, an-Nawawi didalam al-Majmu’ dan Ibnu Rusyd didalam Bidayah al-Mujtahid.
Adapun waktu mandi ‘Ied, yang paling utama adalah setelah shalat shubuh/setelah waktu fajar. Dikarenakan pengandaian mandi ‘Ied berlaku pada hari dimana dikerjakan shalat ‘Ied. Adapun bagi yang mandi pada malam sebelumnya, maka tidaklah mengapa, jika bertujuan untuk bersegera menuju mushalla ‘Ied pada pagi harinya. Wallahu a’lam.
Disunnahkan Berhias dan Memakai wangi-wangian sebelum menuju mushalla ‘Ied.
Keterangan:
Berdasarkan atsar dari Abdullah Ibnu Umar, dari jalan Muhammad bin Ishaq dia berkata: Saya bertanya kepada Nafi’, “Apakah yang diperbuat oleh Abdullah bin Umar pada hari ‘Ied ?”
Beliau mengatakan, “Beliau menghadiri shalat jama’ah shubuh bersama imam, kemudian beliau kembali ke rumah beliau,dan mandi sebagaimana beliau mandi janabah, kemudian memakai pakaian terbaik yang beliau miliki, memakai wangi-wangian yang paling harum yang beliau punyai, kemudian barulah setelah itu beliau mendatangi mushalla ‘ied. Beliau duduk hingga imam datang. Apabila imam telah tiba, maka beliau mengerjakan shalat bersama imam. Setelah itu beliau pulang, dan masuk kedalam masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengerjakan shalat dua raka’at. Kemudian beliau mendatangi rumah beliau.”
Atsar ini diriwayatkan oleh al-Harits didalam al-Musnad beliau (Sebagaimana di dalam Bughyah al-Baahits 1/323 dan juga al-Mathalib al-‘Aliyah 1/305 ).
Disunnahkan memakan kurma sebelum keluar mengerjakan shalat ‘Ied Fithri , berbeda dengan shalat ‘Iedul Adha.
Keterangan:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari didalam ash-Shahih (no.953), dari hadits Anas, beliau mengatakan, “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beranjak ke mushalla ‘ied pada pagi hari sehingga beliau memakan beberapa butir kurma.”
Dan juga hadits Buraidah, Beliau mengatakan, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah keluar untuk mengerjakan shalat ‘iedul fitri hingga beliau makan, dan tidaklah beliau makan pada ‘iedul adha hingga beliau mengerjakan shalat –terlebih dahulu.“
(HR. at-Tirmidzi 2/542, Ibnu Majah 1/1756, Ahmad 5/352, 360, al-Hakim 1/294 dan selainnya).
Sanad hadits ini dha’if disebabkan perawi bernama Tsawwab bin ‘Utbah al-Mahri.
Namun hadits Buraidah diatas dikuatkan oleh beberapa atsar, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Malik didalam al-Muwaththa` (432) dari jalan Ibnu Syihab az-Zuhri, dia mengatakan, Sa’id bin al-Musayyab mengatakan, “Bahwa kaum muslimin telah diperintahkan untuk makan sebelum beranjak ke mushalla pada ‘iedul fithri.”
Dan juga atsar dari asy-Sya’bi, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (al-Mushannaf 1/5590), beliau berkata, Husyaim menceritakan kepada kami, dia berkata, al-Mughirah menceritakan kepada kami dari asy-Sya’bi, beliau mengatakan, “Termasuk Sunnah jika seseorang makan pada
hari ‘iedul fithri sebelum berangkat ke mushalla dan mengakhirkan makan pada ‘iedul adha setelah kembali dari mushalla.”
Demikian semakna dengan kedua atsar tersebut, diriwayatkan juga dari az-Zuhri.
Disunnahkan Bertakbir di saat menuju Mushalla ‘Ied dan sunnah mengeraskan takbir
Keterangan:
Bertakbir disaat menuju mushalla ‘Ied adalah amalan yang sunnah, dan telah diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in yang mengamalkan amalan ini. Adapun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka tidak ada satupun hadits yang shahih.
Di antara atsar-atsar tersebut, adalah atsar Abdullah bin az-Zubair, Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Abi Laila, al-Hakam, Hammad, Urwah bin az-Zubair dan selainnya.
Disunnahkan pula untuk mengeraskan suara ketika bertakbir menuju mushalla ‘Ied. Allah Ta’ala berfirman:
ﭽ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﭼ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Baqarah : 185 )
Berkata Ibnu Qudamah (al-Mughni 2/226), “Makna menampakkan takbir adalah dengan mengeraskan suara ketika bertakbir.“
Catatan 1:
Adapun hukum asal takbir adalah firman Allah Ta’ala:
ﭽ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﭼ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Baqarah : 185 )
Dan firman Allah :
ﭽ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﭼ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dan kedua ayat tersebut berlaku umum serta tidak adanya hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tata cara serta lafadz takbir tertentu, maka dalam hal ini diperbolehkan bertakbir dengan lafadz takbir manapun tanpa adanya pengingkaran.
Catatan 2:
Dan takbir di mushalla ‘Ied juga berlaku bagi laki-laki dan wanita. Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab didalam Fathul Bari (9/33)
Catatan 3:
Takbir pada ‘Iedul Adha lebih ditegaskan dari pada ‘Iedul Adha. Dikarenakan takbir pada ’Iedul Adha disyari’atkan pada setiap akhir shalat pada hari ‘Ied dan hari-hari tasyriq (tiga hari setelah ‘Ied). Demikian yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (al-Fatawa 24/221–222).
Disunnahkan Berjalan kaki menuju Mushalla ‘Ied
Sandaran hukumnya:
Beberapa hadits yang menerangkan hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if, baik karena hafalan perawinya atau karena riwayat mereka yang diperbincangkan oleh ulama hadits. Namun ada sejumlah atsar yang shahih menyebutkan sunnahnya berjalan kaki menuju mushalla ‘ied, diantaranya atsar al-Hasan bin ‘Ali, Ibrahim an-Nakha’i dan Umar bin Abdul Azis.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Berjalan kaki menuju shalat ‘ied lebih baik, dan lebih dekat kepada sifat tawadhu’ (kerendahan hati).
Dan tidak mengapa seseorang berkendara menuju mushalla. “ (al-Ausath 4/264).
At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadits ‘Ali (yang dha’if disebabkan riwayat ‘an’anah Abu Ishaq serta al-Harits yang meruapkan perawi yang dha’if) mengatakan, “Hadist ini diamalakan oleh sebagian besar ulama. Mereka menyukai seseorang keluar menuju mushalla ‘ied sambil berjalan dan makan sesuatu sebelum menuju mushalla ‘ied. Dan disenangi tidak berkendara menuju mushalla kecuali jika ada udzur.” (as-Sunan 2/411).
An-Nawawi mengatakan, “Berjalan kaki lebih utama, namun jika seseorang berkendara ketika pulang dari mushalla maka hal tersebut tidak mengapa. Karena tidak memaksudkan lagi ibadah kepada Allah.“ (al-Majmu’ 5/10–11)
Dengan demikian, jika seseorang memungkinkan berjalan kaki menuju mushalla ‘ied dan tidak memberatkannya atau menjadikannya terlambat menghadiri shalat ’ied, disunnahkan untuk berjalan kaki. Namun jika sampai menjadikann terlambat menghadiri shalat atau menyulitkannya maka tidak mengapa sambil berkendara. Wallahu a’lam bish-shawab.
Disunnahkan menyertakan anak-anak untuk menghadiri shalat ‘Ied.
Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no.977), dari jalan Sufyan dari Abdurrahman bin Abbas, beliau berkata, Saya telah mendengar dari Ibnu Abbas, dimana beliau ditanya, “Apakah anda turut serta menyaksikan shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau berkata, “Iya, seandainya bukan karena keberadaan saya yang masih kecil niscaya saya tidak akan menyaksikannya… “
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Bahwa perkataan beliau, “seandainya bukan karena keberadaan saya yang masing kecil, niscaya saya tidak akan menyaksikannya ..“ yaitu menyaksikan nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kaum wanita, disebabkan anak kecil masih ditolerir untuk berada disekitar kaum wanita berbeda dengan laki-laki dewasa.“
Disunnahkan menyelisihi jalan di saat menuju dan di saat kembali dari Mushalla ‘Ied
Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi shalat ‘Ied, beliau menyelisihi jalan-berangkatnya- “
Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendatangi shalat ‘Ied, beliau pulang melewati jalan selain jalan yang beliau lewati ketika berangkat “
[HR. at-Tirmidzi 2/541, Ibnu Majah 1/1301, Ahmad 2/338, al-Hakim 1/296 dan selainnya.)
7.Shalat ‘Ied bagi yang mempunyai udzur tidak dapat menuju Lapangan/Mushalla ‘Ied.
Keterangan:
Telah disinggung sebelumnya, bahwa seorang yang sakit atau mempunyai udzur, diperbolehkan untuk tidak menghadiri mushalla ‘ied.
Berkata Ibnul Mundzir didalam al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied ( mushalla ) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“
Sandaran hukumnya:
Hadist Ali bin Abi Thalib, dimana beliau memerintahkan seseorang sebagai ganti imam shalat bagi orang-orang yang tua renta lagi lemah di masjid.
Hadist ini ada beberapa jalan periwayatanya, sebagian sanadnya shahih sebagian lagi sanadnya hasan insya Allah, sebagian lagi ada perbincangan dikalangan ulama.
Namun pada hadits tersebut terdapat perbedaan pada beberapa lafadznya, ada yang menyebutkan “imam mengerjakan empat raka’at “ dan riwayat lainnya, “ mengerjakan dua raka’at “.
Yang shahih, dari kedua lafadz tersebut adalah: “ imam mengerjakan dua raka’at.“ Dan ini semisal dengan hadits Anas bin Malik, yang menyebutkan bahwa beliau mengerjakan shalat bersama keluarga beliau dua raka’at, jika beliau tertinggal shalat ‘ied bersama imam.
8.Tata cara pengerjaan Shalat ‘Ied
Shalat ‘Ied Shalat dua raka’at.
Keterangan:
Yakni dimana pelaksanaannya sebagaimana dengan pelaksanaan shalat lainnya, dimulai dengna takbiratul ihram dan diakhir dengan salam. Hanya saja terdapat takbir tambahan selain takbiratul ihram.
Sandaran hukumnya:
Hadist Abu Waqid al-Laitsi dan juga hadits an-Nu’man bin Basyir yang keduanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dimana pada hadits Abu Waqid al-Laitsi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada raka’at pertama membaca surah,
ﭽ ﭑﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭼ
Dan pada raka’at kedua membaca:
ﭽ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﭼ
Dan pada hadits an-Nu’man bin Basyir, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada raka’at perama membaca:
ﭽ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﭼ
Dan pada raka’at kedua membaca:
ﭽ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭼ
Hadist Umar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Shalat jum’at dua raka’at, shalat ‘iedul fithri dua raka’at, shalat ‘iedul adha dua raka’at, shalat safar dua raka’at. Sebagai shalat yang sempurna bukanlah qashar, melalui penyampaian lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.“
[Diriwayatkan oleh an-Nasa’i 3/1420 dan 1566 serta di dalam al-Kubra 1/1733 dan 1734, Ibnu Majah 1/1063, Ahmad 1/37 dan selain mereka)
An-Nawawi di dalam al-Majmu’ (5/17) dan Ibnu Qudamah didalam al-Mughni (2/233) mengutip ijma’/konsensus ulama bahwa shalat ‘iedain dua rakat.
Takbir Tambahan pada shalat ‘Ied (Tujuh takbir pada raka’at pertama dan lima kali takbir pada raka’at kedua) sebelum membaca Al-Fatihah, selain takbiratul Ihram dan takbir disaat menuju raka’at kedua.
Sandaran hukumnya:
Hadist Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertkabirtujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at terakhir, selain dua takbir ruku’ “
[Diriwayatkan oleh Ahmad 6/70, Abu Dawud 1/1150, ad-Daraquthni 2/47 dan al-Baihaqi 3/287 dan selain mereka .
Hadist Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Takbir pada shalat ‘iedul fithri tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at terakhir. Dan membaca al-Fatihah setelah kedua takbir tersebut. “
[HR. Abu Dawud 1/1151, ad-Daraquthni 2/48, al-Baihaqi 3/285, dan selainnya]
Terdapat perbedaan ulama dalam takbir tambahan pada shalat ‘Iedain. Namun riwayat yang shahih menunjukkan bahwa takbir tambahan adalah tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua. Adapun selain itu, sandarannya tidaklah shahih dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian juga takbir tambahan ini adalah selain takbiratul ihram, berdasarkan riwayat lainnya pada hadits Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash dengan lafadz, “selain takbiratul ihram,” yang dishahihkan oleh beberapa imam ahlil Hadist, diantara mereka adalah Imam Ahmad dan al-Bukhari.
Apakah Mengangkat tangan di saat takbir ?
Keterangan:
Perihal mengangkat tangan disaat takbir tambahan, terdapat perbedaan dikalangan ulama. Di antara mereka ada yang membolehkan mengangkat tangan sebagaimana mengangkat tangan pada takbiratul ihram. Dan ini merupakan pendapat asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, al-Auza’I, Atha’, Ibnul Mundzir, al-Bukhari dan selain mereka.
Sedangkan ulama lainnya, di antara mereka adalah ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Malik bin Anas dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri berpendapat untuk tidak mengangkat tangan selain hanya pada takbiratul ihram.
Dan masing-masing madzhab diatas berargumen dengan dalil dari atsar dan juga logika. Adapun dari atsar (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari sahabat), hampir semua jalan periwayatannya terdapat kritikan dan diperbincangkan oleh ulama. Bahkan tidak satupun yang shahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , berkaitan dengan masalah ini.
Sementara dari tinjauan logika, disebutkan oleh asy-Syafi’i, al-Kasaani dan selain mereka, bahwa tujuan dari takbir adalah pemberitahuan takbir tambahan bagi yang tidak dapat mendengar, karena tuli atau karena jauh dari Imam sehingga tidak mendengar suara takbir imam. Logika ini cukup kuat untuk dijadikan alasan bagi yang membolehkan mengangkat tangan ketika takbir.
Adapun yang menolak mengangkat tangan di saat takbir, berargumen tidak adanya atsar dari sahabat yang shahih bahwa mereka melakukannya, … sementara mengangkat tangan disaat takbir adalah ibadah, terlebih didalam shalat. Yang harus berpedoman kepada dalil syara’.
Kesimpulannya : Tidak mengapa mengangkat tangan pada takbir tambahan dan tidak juga sepatutnya bagi yang berpendapat tidak mengangkat tangan ketika takbir tambahan mengingkari hal tersebut, apalagi hingga dikategorikan sebagai bid’ah. Wallahu a’lam.
Dzikir yang dibaca diantara dua takbir tambahan.
Keterangan:
Berkaitan dengan masalah ini, tidak satupun hadits yang shahih maupun dha’if yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan adanya dzikir diantara dua takbir tambahan. Bahkan tidak satupun atsar dari sahabat yang shahih dalam masalah ini. Pendapat ini merupakan pendapat Malik bin Anas dan al-Auza’i.
Adapun sebagian ulama lainnya membolehkan adanya dzikir diantara dua takbir. Diantara yang membolehkan adalah Atha’, asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnul Mundzir dan juga merupakan pendapat yang diperbolehkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berdalilkan atsar yang diriwayatkan dari Atha’ dan Makhul.
Catatan:
Seiring dengan perbedaan pendapat diatas, demikian juga dengan bacaan/dzikir yang dibacakan antara dua takbir tambahan. Apakah ada bacaan dzikir tertentu atau tidak?
Imam asy-Syafi’i didalam al-Umm (1/395) menyebutkan, “Bahwa diamnya seseorang diantara dua takbir tambahan, seukuran membaca sebuah ayat yang tidak panjang dan juga tidak pendek. Lalu dia membaca tahlil, takbir dan tahmid … “
Berkata Imam Ahmad pada “Su`alaat Ibnu Hani`“ (hal. 93), “ Dia bertasbih , bertahlil dan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Dan sekali waktu beliau mengatakan, “Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu setiap doa yang diucapkannya juga baik.”
Jadi diperbolehkan dengan dzikir yang berupa tahlil, tahmid, tasbih, shalawat serta doa apapun diantara dua takbir tambahan. Wallahu a’lam.
Bacaan Surah Al-Fatihah dan Surah setelahnya, dibacakan dengan suara nyaring
Keterangan:
Di antara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Ied adalah membaca surah Qaaf atau al-A’laa pada raka’at pertama dan surah al-Qamar atau al-Ghasyiah pada raka’at kedua.
Sandaran hukumnya:
Hadist Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu, beliau ditanya, “Surah apakah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedul fithri dan ‘Iedul adha ?”
Beliau menjawab, “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada kedua shalat tersebut membaca:
ﭽ ﭑﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭼ
Dan:
ﭽ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﭼ
(HR. Muslim no. 891)
Dan pada hadits An-Nu’man bin Basyir, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedain dan shalat jum’at membaca:
ﭽ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﭼ
Dan:
ﭽ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭼ
Kedua hadits diatas, dijadikan sandaran hukum juga oleh sebagian ulama, bahwa bacaan pada shalat ‘Iedain adalah bacaan yang dibaca dengan jahar/suara keras. Mereka mengatakan:
1.Sahabat tidaklah mengetahui bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedain kecuali jika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjaharkan bacaannya.
2.Pada hadits an-Nu’man, sifat bacaan shalat ‘Iedain disetarakan dengan sifat bacaan pada shalat jum’at.
3.Shalat ‘Iedain adalah shalat jama’ah dengan khutbah yang dapat dianalogikan dengan shalat jum’at yang juga dengan khutbah.
Pendapat mengeraskan bacaan pada shalat ‘Iedain adalah pendapat Malik, asy-Syafi’I dan sebagian besar ulama Islam. Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni (2/336) mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, kecuali yang diriwayatkan dari Ali.”
Sedangkan hadits ‘Ali, hadits yang dha’if. Pada sanadnya terdapat al-Aslami dia perawi yang matruk. Dan sanad lainnya terdapat al-Harits seorang perawi yang dha’if.
Diantara ulama yang juga mengutip ijma’ seperti pernyataan Ibnu Qudamah: az-Zarkasyi dan al-Qurthubi.
9.Khutbah Al-‘Iedain
Khutbah ‘Ied dilakukan setelah shalat.
Keterangan:
Yang wajib adalah mendahulukan shalat baru selanjutnya khathib khutbah pada hari ‘Iedain.
Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu Abbas, beliau berkata, “Saya telah menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum, semuanya mengerjakan shalat sebelum khutbah.”
Demikian juga hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma mengerjakan shalat ‘Iedain sebelum khutbah“ ( HR. al-Bukhari dan Muslim ).
Imam Muslim didalam Shahihnya meriwayatkan hadits Jabir, beliau berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat pada hari ‘iedul fithri, dimana beliau memulai shalat sebelum khutbah. Setelah beliau menyelesaikan khutbah, beliau lantas mendatangi wanita dan mengingatkan mereka. Beliau bersandar kepada Bilal, sementara Bilal menghamparkan pakaian beliau , dan para wanita melemparkan sedekah mereka.”
Juga semisalnya diriwayatkan dari hadits Abu Said al-Khudri (Muttafaq ‘alaihi).
Sunnah mengerjakan Khutbah sambil berdiri di atas tanah
Keterangan:
Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khutbah ‘Ied diatas tanah, tanpa berdiri diatas mimbar.
Diantaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk mengerjakan shalat ‘Iedul fithri atau ‘Iedul adha di mushalla/lapangan. Kemudian beliau melewati kaum wanita, maka beliau bersabda, “ Wahai kaum wanita bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya saya telah melihat penghuni neraka adalah kalian …“
( HR. al-Bukhari dan Muslim )
Pada lafadz lainnya, “ … lalu beliau memulai dengan shalat, setelah beliau shalat dan mengucapkan salam, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menghadap kepada kaum muslimin, sementara mereka duduk di tempat mereka … “
Juga hadits Ibnu Abbas yang telah disebutkan sebelumnya, beliau ditanya, “Apakah anda menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”
Beliau mengatakan, “Iya, seandainya bukan karena keberadaan saya disisi beliau tidaklah saya menyaksikannya- yaitu karena usia beliau yang masih kecil- lalu beliau mendatangi gundukan tanah yang berada didekat kediaman Katsir bin ash-Shal`at, lalu beliau khutbah. Kemudian beliau mendatangi kaum wanita, menasihati mereka, dan memerintahkan mereka untuk berdedekah … “
( HR. al-Bukhari dan selainnya )
Catatan:
Hadits di atas juga menunjukkan sunnahnya bersedekah pada hari ‘Ied, terutama bagi kaum wanita.
Khutbah ‘Ied terdiri atas dua kali Khutbah
Keterangan:
Khutbah ‘Ied adalah dua kali khutbah diselingi dengan duduk diantara dua khutbah. Berkata Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah, “ … Apabila imam telah salam, maka imam berdiri untuk khutbah kehadapan kaum muslimin dengan dua kali khutbah diselingi dengan duduk diantaranya, … -lalu beliau berkata : – “dan pada masalan ini tidak terdapat perbedaan pendapat diantara ulama “ (al-Muhalla 5/82)
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , tidak satupun yang shahih menunjukkan adanya dua kali khutbah ‘Ied. Namun sebagian ulama hadits seperti an-Nasaa’i didalam al-Kubra yang mencantumkan hadits dua kali khutbah jum’at pada bab. Khutbah ‘Iedain, demikian juga dengan Ibnu Khuzaimah (2/349) yang mencantumkan hadits khutbah jum’at dari hadits Ibnu Umar pada masalah khutbah ‘Iedain. Hal mana mengisyaratkan bahwa khutbah ‘Ied semisal dengan khutbah jum’at.
Mengawali Khutbah dengan bacaan “ Innal Hamda lillah … dst “
Keterangan:
Berkaitan dengan sebagian besar yang diamalkan oleh kaum muslimin/para khathib shalat ‘Ied, yakni bertakbir sembilan kali diawal khutbah ‘Ied, amalan tersebut merupakan pendapat dari Malik bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad dan selain mereka. Sebagian besar pendapat yang mereka utarakan, bahwa khathib pada khutbah pertama bertakbir sembilan kali dan pada khutbah yang kedua bertakbir tujuh kali takbir.
Bahkan Imam Malik menambahkan bahwa kaum muslimin disenangi untuk bertakbir bersama dengan imam.
Argumen mereka sebagai berikut:
Hadist ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ’Utbah, beliau berkata, “Termasuk sunnah bertakbir diatas mimbar pada hari ‘Ied ketika memulai khutbah pertama dengan sembilan takbir sebelum khutbah dan pada khutbah selanjutnya dengan tujuh kali takbir.”
[Hadist ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq 5672, 5673, 3674, Ibnu Abi Syaibah 5865, al-Baihaqi 3/299. Hadist ini didalamnya terdapat perawi yang matruk]
2.Bahwa pada hari itu adalah hari takbir, olehnya itu disyari’atkan untuk memulai takbir disaat memulai khutbah ‘Ied.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullah kedua berpendapat bahwa yang sunnah adalah memulai dengan ucapan: “ Innalhamda-lillah … “ tanpa takbir diawal khutbah ‘Ied.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memulai khutbah beliau dengan selain ucapan tersebut. Pendapat kedua imam ini lebih tepat kiranya, dengan mengacu dha’ifnya hadits diatas.
Adapun argumen kedua, mungkin dapat dijawab, -jikalau benar adanya – maka hanya berlaku untuk ‘Iedul adha, disebabkan takbir pada ‘Iedul fithri berakhir disaat imam khutbah. Akan tetapi khutbah ‘Ied tidaklah menjadi batal karena hal ini, dan tidak juga diingkari bagi yang melakukannya. Wallahu a’lam.
Menghadiri Khutbah ‘Ied wajib menurut pandangan yang shahih dari Ulama
Keterangan:
Sebagian besar ulama Madzahib berpendapat menghadiri khutbah ‘Ied sunnah, dan tidak sampai ke derajat wajib.
Ulama tersebut berargumen dengan hadits Abdullah bin as-Saa`ib radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat ‘Ied, lalu beliau bersabda, “Barang siapa yang menyenangi untuk berpaling, maka tidak mengapa baginya untuk berpaling. Dan barang siapa yang menyenangi untuk menyimak khutbah hendaknya dia menyimak.“
[Hadist ini diriwayatkan oleh an-Nasaa’i 3/1571 dan didalam al-Kubra 1/1779, Abu Daud 1/1155, Ibnu Majah 1/1290, al-Hakim 1/295, Ibnu Khuzaimah 2/1462 dan selain mereka].
Hadist ini yang shahih adalah hadits mursal. Sebagaimana yang disebutkan oleh an-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan demikian juga Abu Zur’ah ar-Razi merajihkan bahwa hadits diatas adalah hadits yang mursal.
(al-‘Ilal 1/513 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 9/48–49).
Dan juga diriwayatkan dari mursal Atha’, semakna dengan hadits diatas.
Sementara itu, diriwayatkan dari Imam Malik dan Imam Ahmad pendapat yang menyiratkan wajibnya menghadiri khutbah ‘Ied. Bahkan Imam Malik melarang kaum wanita dan hamba sahaya untuk berpaling meninggalkan khutbah ‘Ied.
Di antara argumen mereka adalah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa khutbah ‘Ied adalah bagian dari syi’ar ‘Ied. Dan juga seiring dengan pendapat yang mewajibkan kaum muslimin bahkan kaum wanita untuk menghadiri shalat ‘Ied, menyaksikan berkah dan da’wah kaum muslimin, dimana hal tersebut akan dijumpai disaat khutbah ‘Ied.
Wallahu a’lam.
Disunnahkan duduk diam dan mendengarkan Khutbah ‘Ied
Keterangan:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ummu ‘Athiyah, beliau berkata, “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kami mengajak kaum wanita keluar pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, yakni wanita-wanita yang telah berusia lanjut, wanita yang dalam keadaan haidh dan juga gadis belia. Adapun wanita yang dalam keadaan haidh maka mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari mushalla ‘ied, dan menyaksikan kebaikan yang ada pada hari itu serta menyaksikan dakwah kaum muslimin.”
“ Menyaksikan dakwah kaum muslimin … “ dijelaskan oleh Ibnu Rajab yakni khutbah ‘Ied.
Hanya saja, sebagian ulama memandang tidak wajib untuk diam mendengarkan khutbah ‘Ied. Dan hanya sebatas sunnah. Karena jika dianggap wajib maka akan mengharuskan pula wajibnya menghadiri khutbah ‘Ied, sementara sebagian besar ulama berpendapat tidak wajibnya, seperti yang telah dikemukakan diatas.
Faidah :
Hukum bersalaman dan tahni’a setelah shalat ‘Ied
Diriwayatkan dari atsar Abdullah bin Busr, Abdurrahman bin ‘Aidz, Jubair bin Nadhir dan Khalid bin Mi’dan: “ Bahwa diucapan kepada mereka ucapan: Taqabbalallahu minna wa minkum ( semoga Allah menerima amalan kami dan kalian), dan juga mereka mengucapkanya kepada selain mereka “
(Diriwayatkan oleh al-Ashbahani didalam at-Targhib 1/381 dengan sanad yang tidak mengapa)
Berdasarkan atsar ini pula, pembolehan mengucapkan ucapan tersebut merupakan amalan yang sunnah. Dan tidak mengapa mengucapkan ucapan selain ucapan diatas, disebabkan tidak adanya hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan hal tersebut, baik apakah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengamalkanya atau melarangnya. Yang ada hanyalah amalan sejumlah sahabat radhiallahu ‘anhum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, didalam Majmu’ al-Fatawa (24/253) , membolehkannya dengan ucapan diatas dan juga yang semisalnya.
Adapun Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa beliau membolehkannya hanya saja beliau tidak memulainya. Namun jika ada yang memulai maka beliau menjawabnya. (al-Furu’ 2/150).
10. Bagaimanakan Jika Shalat ‘Ied bertepatan dengan Shalat Jum’at ?
Keterangan :
Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat dikalangan ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat gugurnya kewajiban shalat jum’at dan dhuhur, yang mana meupakan pendapat Atha’.
Di antara ulama ada yang berpendapat wajibnya melaksanakan shalat ‘Ied dan juga shalat jum’at. Pendapat ini merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnul Mundzir.
Argumen mereka adalah keumuan ayat, yaitu firman Allah Ta’ala:
ﭽ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭼ
“ Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9 )
Adapun pendapat yang shahih, yang merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ al-Fatawa 24/211), bahwa bagi yang menghadiri shalat ‘Ied telah gugur kewajiban menghadiri shalat jum’at.
Namun tetapi diwajibkan baginya untuk mengerjakan shalat dhuhur berpegang dengan keumuman nash-nash syara’. Sementara bagi Imam kaum muslimin, dalam hal ini adalah pemerintah, diharuskan untuk menegakkan pelaksanaan shalat jum’at, agar yang berkeinginan menghadirinya dapat menghadiri shalat jum’at.
Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Hanabilah dan dirajihkan oleh Ibnu Abdil Barr.
Argumen mereka:
Adalah sejumlah hadits, diantaranya yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ Sesungguhnya pada hari ini telah berkumpul dua ‘Ied bagi kalian. Barang siapa yang berkeinginan, maka shalat ‘Ied telah mencukupinya darii menghadiri jum’at, sementara saya termasuk yang mengerjakannya “
[HR. Abu Daud 1/1073, Ibnu Majah 1/1311, al-Hakim 1/288 dan selainnya ]
Namun ad-Daraquthni merajihkan bahwa hadits diatas adalah hadits yang mursal.
Dan juga hadits Zaid bin Arqam. Mu’awiyah telah bertanya kepada Zaid bin Arqam: Apakah anda pernah menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?
Beliau berkata, “Benar. Beliau mengerjakan shalat ‘Ied diawal hari, kemudian memberikan keringan dalam pelaksanaan shalat jum’at.”
[HR. an-Nasaa’i 3/1591 dan didalam al-Kubra 1/1793, Abu Dawud 1/1070, Ibnu Majah 1/1310, ad-Darimi 1/378, Ahmad 4/372, al-Hakim 1/288 dan selainnya]
Hadist di atas dishahihkan oleh Ibnul-Madini, sebagaimana yang dikutip oleh al-Hafidz Ibnu Hajar.
Namun pada sanadnya terdapat perawi bernama Iyas bin Abi Ramlah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnul Jauzi mengatakan dia perawi yang majhul.
Dan juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, beliau berkata: “Telah berkumpul hari ‘Ied dan jum’at dizaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat mengimam kaum muslimin, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barang siapa yang hendak mendatangi shalat jum’ah maka tidak mengapa dia mendatnaginya dan barang siapa yang hendak meninggalkannya tidak mengapa dia meninggalkannya.”
[HR. Ibnu Majah 1/1312]
Hadist tersebut dha’if, pada sanadnya terdapat perawi bernama Jabbarah bin al-Mughallis dan juga Mindil bin Ali al-‘Anazi keduanya adalah perawi yang dha’if.
Dan beberapa atsar lainnya yang diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in semakna dengan hadits diatas.
Ibnu Abdil Barr dalam mengulas masalah ini, beliau mengkritik pendapat pertama di atas, dengan mengatakan, “ Adapun pendapat … bahwa shalat jum’at gugur dengan adanya shalat ‘Ied, dan tidak juga mengerjakan shalat dhuhur dan jum’at, maka merupakan pendapat yang sangat jelas fasad dan kekeliruannya. Pendapat yang tertolak dan ditinggalkan, dan tidak layak untuk ditinjau. Dikarenakan Allah Ta’ala’ berfirman:
ﭽ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭼ
“Apabila diserukan untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at “
Dan Allah tidak mengkhususkan hari ‘Ied dari hari-hari lainnya. Sementara atsar yang marfu’ dalam masalah ini, tidaklah menyebutkan gugurnya shalat jum’at dan juga shalat dhuhur, akan tetapi hanya menunjukkan keringanan untuk tidak menghadiri shalat jum’at … “ (at-Tamhid 10 / 274 ).
11.Beberapa amalan yang makruh dan menyelisihi sunnah pada pengerjaan shalat ‘Ied
- Mengerjakan shalat qabliyah dan ba’diyah menyertai shalat ‘Ied
- Adzan dan Iqamah sebelum Shalat ‘Ied
- Ucapan : Ash-Shalat al-Jaami’ah dan semisalnya
- Shalat dua raka’at secaa khusus dimalam ‘Ied. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat malam ‘Ied adalah hadits-hadits yang maudhu` dan sangat dha’if.
- Mendahulukan khutbah sebelum pengerjaan shalat ‘Ied
- Mengadakan mimbar untuk khutbah ‘Ied.
- Mengerjakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya udzur.
- Meninggalkan shalat ‘Ied dibelakang seorang yang dianggap ahli bid’ah (namun tidak sampai pada kekufuran).
- Mengerjakan shalat ‘Ied di lapangan yang kecil/sedikit menampung jama’ah, sementara ada lapangan/mushalla terdekat yang dapat menampung banyak jama’ah.
- Mendirikan mushalla ‘Ied atas dasar hawa nafsu dan tahazzub (fanatisme kelompok), sementara dijumpai mushalla ‘Ied kaum muslimin.
- Menempatkan shaf laki-laki bergantian dengan shaf wanita, atau shaf laki-laki sejajar dengan shaf wanita.
- Keluarnya wanita dengan bertabarruj yang tidak syar’i.
- Bersenda gurau ketika khutbah ‘Ied.
Disusun oleh :
Abu Zakariya Abdurrahman Rizqi al-Atsary
al-Madrasah al-Atsariyah
Pusat Dakwah Daar el-Salam
Villa Nusa Indah II – Bojong Kulur
Gunung Putri BOGOR
(Dinukil dari lampiran pada http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/1988)
Recent Comments