Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsary
Setiap langkah dari kehidupan kita tentu tidaklah lepas dari pengawasan dan pengetahuan sang Maha Melihat dan Maha Mengetahui Allah subhanahu wa ta’ala.
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al Mujaadilah: 7).
Amatlah pantas bagi kita dan seluruh manusia sebagai makhlukNya untuk senantiasa memohon, mengharap, serta bertawakkal padaNya, sebuah tanda konsekuensi ibadah dan bukti keimanan yang hakiki terhadapNya. Allah berfirman, “Dan bertawakallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, yang melihat kamu ketika kamu berdiri dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS Asy Syu’ara: 217-219).
Allah juga berfirman, “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS Al Maidah: 23). Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, “Ini menunjukkan akan lenyapnya iman ketika lenyapnya tawakkal, barangsiapa yang tidak memiliki tawakkal berarti ia tidak memiliki iman.” (Lihat Madaarijus Saalikin).
Pengertian Tawakkal
Tawakkal secara bahasa berarti penyerahan, dan di dalam “Mukhtaarush Shihaah” hal: 786, tawakkal ialah menampakkan kelemahan dan bersandar kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah: bersandarnya hati dengan benar kepada Allah dalam mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan dengan mengambil sebab yang diperbolehkan secara syari’at.” Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal adalah ibadah hati.” Bila demikian maka tentu tawakkal dalam diri manusia bertingkat-tingkat, dimana ia (tawakkal) akan menguat dalam diri seseorang sejalan dengan bertambahnya iman pada dirinya dan sebaliknya ia akan melemah dengan berkurangnya keimanan dalam dirinya.
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhannyalah mereka bertawakkal.” (QS Al Anfal: 2).
Hakikat Tawakkal
Pembaca -semoga dirahmati Allah- tawakkal adalah bagian dari ibadah, dalil yang menunjukkan hal ini di antaranya firman Allah subhanahu wata’ala di atas dalam Al Qur’an surat Al Maaidah ayat 23. Sisi pendalilan dari ayat itu: pertama, Allah memerintahkan kita agar bertawakkal di mana ini menunjukkan bahwa ia sebagai ibadah. Kedua: Allah menjadikan tawakkal dalam ayat itu sebagai syarat dari keimanan. Kemudian dalil lainnya, firman Allah, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS AthThalaq: 3). Pada ayat ini Allah menjanjikan atas siapa saja yang bertawakkal padanya dengan diberikan balasan berupa kecukupan, balasan yang besar ini tentu tidak akan tercapai kecuali dengan ibadah yang besar pula, pendek kata tawakkal adalah ibadah yang agung, yang dengannya seorang hamba mendekatkan diri kepada sang Penciptanya.
Hal yang mendorong seorang hamba untuk bertawakkal kepada Allah, menyandarkan hati padaNya ialah hendaknya mengetahui bahwa bukanlah hak makhluk memberikan kemanfaatan dan kemudharatan, hidayah dan kesesatan, meninggikan dan merendahkan, serta memuliakan dan menghinakan. Tetapi Dialah Rabbnya yang telah menciptakannya, memberi rizkinya, memberi petunjuk padanya, serta menganugerahkan segala nikmat untuknya.
Manusia dalam hal bertawakkal kepada Allah terbagi tiga golongan, pertama:orang-orang yang meniadakan sebab / usaha dalam rangka menjaga keutuhan tawakkal, mereka mengira bahwa tawakkal tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan sebab. Kedua: orang-orang yang meninggalkan tawakkal dan bertumpu pada sebab / usaha. Ketiga: orang-orang yang mengetahui bahwa tawakkal tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan sebab, golongan ketiga inilah yang benar sedangkan yang sebelumnya mereka berada di atas kebodohan dan kesesatan. Mengambil sebab yang disyariatkan adalah dalil akan kebenaran tawakkal dan kejujuran orang yang bertawakkal, ingatlah tatkala Nabi Musa ‘alaihis salam meminta air untuk kaumnya, maka Allah memerintahkan agar memukul batu dengan tongkatnya. “Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air…” (QS Al Baqarah: 60). Juga Allah berfirman kepada Maryam, “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS Maryam: 25).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meninggalkan sebab berarti celaan terhadap syariat dan akal, sedangkan bersandar pada sebab (tanpa tawakkal, -pent.) adalah kesyirikan.”(Majmu’ul Fatawa: 8/175-176). Berkata Ibnul Qoyyim, “Telah menjadi kesepakatan bahwa tawakkal tidaklah menafikan untuk mendatangkan sebab/ usaha. Tidak sah tawakkal kecuali dengan itu, jika tidak maka hal itu adalah kebatilan dan tawakkal yang rusak. Suhail bin Abdillah berkata, ‘Barangsiapa mencela usaha / sebab, berarti ia telah mencela sunnah, barangsiapa mencela tawakkal berarti ia telah mencela iman, maka bertawakkal adalah keadaan nabi sedangkan usaha adalah sunnahnya. Siapasaja yang beramal dengan keadaannya, janganlah meninggalkan sunnahnya.'” (Lihat Madaarijus Saalikin: 2/116).
Jadi pelanggaran yang terbesar terhadap syariat ialah meninggalkan sebab karena beranggapan bahwa hal itu sebagai kesempurnaan tauhid, Allah berfirman, “Siapa yang tidak diberikan cahaya oleh Allah, maka ia tidak mempunyai cahaya.”
Pembaca, jika tawakkal sebagai ibadah, maka tidak boleh memalingkannya kepada selain Allah -dalam perkara yang tidak dimampui kecuali olehNya-sebab hal itu adalah bentuk kesyirikan, karenanya Allah berfirman, “Dan bertawakkallah kepada yang hidup yang tidak akan mati.” Begitu pula dalam hal mengambil sebab, tidak dibolehkan mengambil sebab, kecuali yang diperkenankan menurut syariat.
Sumber: Buletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-31 Tahun ke-1 / 18 Juli 2003 M / 18 Jumadil Ula 1424 H. http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/31.htm
Recent Comments