Arsip Materi

Radio Dakwah Online

Penyimpangan Makna Tauhîd

Penulis: Al-Ustadz Abu Faruq Ayip Syafruddin

Banyaknya praktik kesyirikan yang terjadi di tengah umat menandakan ada yang salah dalam pemahaman umat akan makna tauhid. Terlebih cara memaknainya dilatari sudut pandang kelompoknya masing-masing. Maka yang terjadi tauhid dipahami secara beragam sesuai “selera” masing-masing, kesyirikan bisa dinamakan tauhid dan tauhid malah dihukumi syirik.

Menurut Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam risalahnya, Tsalatsah Al-Ushul, dinyatakan bahwa seagung-agung perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadahan. Dan seagung-agung larangan adalah syirik, yaitu menyeru kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersamaan dengan menyeru (beribadah) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini berdasarkan dalil surat An-Nisa` ayat 36:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa: 36)

Demikianlah, betapa agung dan luhur masalah tauhid ini. Bahkan Al-Imam Al-Qadhi Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi Al-Izzi Ad-Dimasyqi rahimahullahu mengungkapkan bahwa Al-Qur`an semuanya adalah tauhid, hak-haknya, dan balasan-balasannya. Termasuk di dalamnya terkandung muatan tentang masalah syirik, para pelakunya dan balasan-balasan sebagai akibat dari perbuatannya. Ini bisa dilihat dalam surat Al-Fatihah. Misalnya Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin adalah tauhid, Arrahmanirrahim merupakan tauhid. Maliki yaumiddin juga tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tauhid. Ihdinash-shirathal mustaqim merupakan representasi dari tauhid yang meliputi permohonan guna mendapatkan hidayah ke jalan ahli tauhid, yaitu orang-orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beri nikmat atas mereka. Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh-dhallin adalah penjelasan tentang orang-orang yang telah memisahkan diri dari tauhid. (Syarhu Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 142)

Maka sudah sepatutnya bila dikatakan bahwa yang mengawali seorang individu untuk memeluk Islam adalah tauhid dan akhir dari kehidupannya di dunia ditutup dengan tauhid pula. Seperti dinyatakan oleh Al-Imam Al-Qadhi Ibnu Abi Al-Izzi rahimahullahu bahwa awal adalah wajib dan akhir (juga) wajib. Maka tauhid merupakan awal masuk dalam Islam dan merupakan akhir bagi seseorang kala dikeluarkan dari dunia (mati). Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ آخِرَ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha illallah, dia masuk surga,” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim, Ibnu Mandah dalam At-Tauhid, dan Ahmad. Hadits ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sebagai hadits hasan, lihat Irwa`ul Ghalil hadits no. 687, hal. 149-150)

Begitupun, ketika hari dibangkitkan itu tiba. Ketika harta dan anak-anak lelaki tiada lagi guna, tidak lagi memberi nilai manfaat, maka pada hari itu beruntunglah orang yang memiliki hati yang bersih (qalbun salim). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ

“(Yaitu) pada hari yang harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara`: 88-89)

Apakah hati yang bersih itu? Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu, hati yang bersih adalah hati yang bersih atau selamat dari segala sesuatu yang menjadikan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (dalam segala bentuknya) sebagai sekutu. Karenanya, hati yang bersih adalah yang memurnikan segala bentuk peribadatan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Iradah (kehendak), mahabbah (cinta), tawakal, taubat, ikhbatan (khusyu’) tawadhu’, (berendah diri), khasyyah (takut), dan raja` (harapan) semuanya murni diamalkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. (Ighatsatul Lahafan min Mashayidi Asy-Syaithan hal. 41)

Sedang menurut Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsir-nya, yang dimaksud hati yang bersih adalah (bersih) dari kotoran dan kesyirikan. Beliaupun menukil perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa hati yang bersih adalah hati yang selamat, yang (melakukan) kesaksian bahwa tiada Ilah yang diibadahi secara haq kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pendapat yang hampir serupa, diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di ketika beliau menjelaskan surat Asy-Syu’ara` ayat 88-89 ini dalam kitab tafsirnya Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalami Al-Mannan. Beliau rahimahullahu memaknai hati yang bersih adalah yang bersih dari kesyirikan, syak (keraguan terhadap kebenaran), bebas dari sikap mencintai sesuatu yang buruk dan menyuarakan kebid’ahan serta dosa-dosa.

Nyata sudah, betapa hati nan bersih adalah hati yang diselimuti tauhid. Hati yang senantiasa dibasuh dengan kalimat Laa ilaha illallah. Menepis kesyirikan hingga tak bercokol di dalam kalbu. Berbeda dengan para pelaku kesyirikan, mereka diharamkan mendapatkan surga, dan tempat mereka di neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka.” (Al-Ma`idah: 72)

Begitulah syirik, sebuah dosa yang pelakunya tak akan mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bila sampai terbawa mati dan tidak sempat bertaubat.

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa`: 48)

Demikian arti penting tauhid. Dia merupakan asas agama. Setiap perintah, larangan, peribadahan, dan ketaatan, semuanya didasari adanya tauhid. Tanpa didasari tauhid, maka amalan akan sirna, hancur luluh tiada berarti apa pun. Kerugianlah yang akan didapat.

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ

“Seandainya mereka mempersekutukan (Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

Dalam memahami makna tauhid, yaitu makna Laa ilaha illallah, hendaknya perlu dicermati bahwa di tengah kehidupan masyarakat ada pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Beberapa pemahaman yang menyimpang tentang makna Laa ilaha illallah ini diterangkan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan saat memberi syarah (penjelasan) terhadap Tafsir Kalimat At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Berikut tafsir (pemahaman) kalimat tauhid Laa ilaha illallah yang menyimpang:

1. Tafsir Wihdatul wujud

Para pengikut aliran wihdatul wujud yang dianut oleh Ibnu ‘Arabi dan para pengikutnya, menyatakan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda illallah (tidak ada yang disembah kecuali Allah) atau Laa ilaha maujudun illallah (tidak ada Ilah yang ada kecuali Allah).

Bila diartikan semacam itu, maka segala sesuatu yang disembah semuanya adalah Allah. Karena menurut pemahaman mereka bahwa Al-Wujud tidak terpilah antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk. Semuanya (Khaliq dan makhluk) adalah Allah. Pemahaman semacam ini, di kalangan penganut wihdatul wujud, menjadikan al-wujud (menyatu) dan tidak dibedakan (antara makhluk dan Khaliq).

Maka seseorang yang menyembah manusia karena sesuatu, senyatanya dia menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang menyembah sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya diartikan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah adalah sesuatu yang wujud atau ada (al-wujud) secara mutlak (maka setiap yang wujud, seperti sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, pen.).

Bagi mereka, seseorang yang memahami bahwa al-wujud itu terbagi dua bagian: Khaliq dan makhluk, maka orang tersebut dinyatakan sebagai musyrik. Seseorang tidak dikategorikan sebagai muwahhid (bertauhid) menurut mereka, kecuali dia mengatakan, “Sesungguhnya al-wujud (keberadaan) sesuatu itu satu, yaitu Allah.” Inilah kebatilan pemahaman wihdatul wujud, bahwa semua benda yang ada adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Tafsir Ulama Ilmu Kalam

Para ulama al-kalam menyatakan bahwa Laa ilaha illallah maknanya adalah tidak ada yang berkuasa atas penciptaan, pengaturan, mengadakan (sesuatu) kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pemahaman semacam ini tidaklah benar. Pemahaman seperti ini setali tiga uang dengan pemahaman agama orang-orang musyrik. Dinyatakan oleh orang-orang musyrik: “Tidak ada yang mampu/berkuasa atas penciptaan kecuali Allah.” “Tidak ada yang menghidupkan kecuali Allah.” “Tidak ada yang mematikan kecuali Allah.” “Tidak ada yang memberi rizki kecuali Allah.” Maka hal-hal tersebut hanya sebatas menyentuh aspek-aspek tauhid Rububiyah semata. Tidak termuat unsur-unsur tauhid Uluhiyah.

3. Tafsir Al-Jahmiyah dan Al-Mu’tazilah

Barangsiapa yang berjalan berdasar manhaj mereka, dia akan menafikan (menolak, meniadakan) nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena menurut pemahaman mereka, seseorang yang menetapkan Al-Asma wa Shifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang musyrik. Sedangkan yang dikategorikan sebagai orang yang bertauhid menurut mereka adalah orang yang menafikan Al-Asma wa Shifat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Tafsir kalangan hizbiyyun dan Ikhwanul Muslimin (IM)

Di kalangan pergerakan dan IM, mereka memiliki pemahaman tentang Laa ilaha illallah dengan makna La hukma illa lillah (Tidak hukum kecuali milik Allah). (Buah dari kekeliruan ini mengakibatkan mereka -walaupun meyakini Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah– lebih memfokuskan masalah hakimiyyah ini yang terkadang mereka sebut dengan Al-Mulkiyyah. Hal itu sangat nyata bila kita melihat gerakan dakwah mereka. ed). Pemahaman ini disampaikan oleh Sayyid Quthb, seorang pentolan IM yang mengadopsi pemikiran Abul A’la Al-Maududi (seorang pendiri gerakan Jamaah Al-Islami di Pakistan).

Kata Al-Maududi, Al-Ilah adalah Al-Hakim (yang berkuasa). Pemikiran Al-Maududi ini lahir karena dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, seorang filosof Jerman. (Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi dalam Adhwa` Islamiyyah hal. 59. Beliau menukil dari Shalahudin Maqbul dalam bukunya Da’wah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wa Atsaruha fi Al-Harakat Al-Islamiyyah)

Menurut Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Al-Hakimiyyah sesuai namanya merupakan bagian dari makna Laa ilaha illallah. Karena makna kalimat tauhid secara sempurna adalah meliputi setiap bentuk peribadahan. Kalau makna Laa ilaha illallah hanya dibatasi dengan makna Al-Hakim, maka bagaimana dengan bentuk-bentuk peribadahan lainnya seperti ruku’, sujud, menyembelih, nadzar, mahabbah (cinta), khauf (takut), isti’anah (meminta pertolongan) dan lain-lain? Dan mana pula bentuk penafian terhadap berbagai bentuk kesyirikan?

Asy-Syaikah Fauzan berkata: “Menafsirkan kalimat Laa ilaha illallah dengan Al-Hakimiyyah merupakan tafsir yang pendek. Tidak memberikan makna Laa ilaha illallah (secara sempurna).”

Adapun menafsirkan Laa ilaha illallah dengan Laa khaliqa illallah (tiada pencipta selain Allah) adalah penafsiran yang batil, tidak semata penafsiran yang pendek. Karena kalimat Laa ilaha illallah tidaklah semata untuk menetapkan bahwa sesungguhnya tidak ada pencipta selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penetapan semacam ini sudah dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy dulu. Jadi, bila penetapan semacam ini benar maka menjadikan kaum musyrikin sebagai muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az-Zukhruf: 87)

Bila pemahaman Laa ilaha illallah adalah semacam itu, maka Abu Jahl dan Abu Lahab termasuk orang yang bertauhid. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 118)

5. Tafsir Kalangan Sufi

Di kalangan Sufi, kalimat Laa ilaha illallah tidak diucapkan sempurna. Mereka meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang teramat khusus, istimewa (khawash al-khawash), sehingga mereka tak perlu mengucapkan kalimat tauhid secara sempurna tapi mencukupkan diri mengucapkan Allahu, Allahu. Begitulah dzikir mereka. Mereka berdzikir dengan mengucapkan secara berulang kalimat Allahu, Allahu, Allahu…

Kalimat yang diucapkan itu merupakan isim mujarrad (sekedar menyebut nama), yang tidak memberi faedah tauhid sedikitpun. Mestinya kalimat tersebut harus dalam bentuk jumlah mufidah (kalimat yang sempurna) sehingga memberi arti atau faedah.

Bahkan sebagian mereka tidak lagi mengucapkan lafzhul jalalah (Allahu), tetapi hanya mengucapkan huwa, huwa, huwa, yang merupakan kata ganti tunggal orang ketiga (dhamir ghaib). Tentu saja, inipun tidak memberikan manfaat sedikitpun. Ini merupakan tindakan mempermainkan kalimat tauhid. Lebih parah lagi, sebagian mereka tidak melafadzkan Allahu atau huwa, namun hanya menyatakan dengan hatinya. (Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Tafsir Kalimat At-Tauhid hal. 132)

Bagaimana dengan pemahaman Ahlus Sunnah wa Jamaah? Inilah pemahaman yang benar dalam memahami kalimat tauhid.

Makna Laa ilaha illallah telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat-ayat-Nya dan telah diterangkan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa`: 36)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenaan dengan kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ لأَبِيْهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُوْنَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِيْنِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Dzat Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku’.” (Az-Zukhruf: 26-27)

Makna Laa ilaha illallah pun bisa dipahami dari ayat:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ -وَفِي رِوَايَةٍ: إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ-

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah.” Dalam riwayat lain: “Sampai mereka mengesakan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1335, 2886 dan At-Tirmidzi no. 2606)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh peribadahan. Makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang disembah secara haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu dengan mengikhlaskan atau memurnikan peribadahan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, termasuk di dalam tahkim asy-syari’ah (berhukum dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala). (Al-Ajwibah Al-Mufidah hal. 118)

Dengan ini dipahami bahwa kalimat tersebut mengandung pengertian menafikan (menolak, menghilangkan) segala bentuk Ilah (sesembahan), menafikan segala bentuk kesyirikan, dan menetapkan bahwa peribadahan itu hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=440

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>