Oleh: Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani
Pembahasan ini merupakan tema yang cukup menarik bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya orang yang beriman ingin membuktikan keimanannya. Dengan demikian dia dinobatkan sebagai seorang mu’min sejati. Tidak ada jalan untuk mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan merealisasikan tauhid kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah subhanahu wa ta’ala.
Merealisasikan tauhid secara sempurna adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari campuran syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Peribadahan yang dilakukan harus terbebas pula dari kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan dengan terus menerus. Maka seorang yang berkemauan untuk merealisasikan tauhid secara sempurna harus memenuhi kriteria sebagaimana yang diutarakan tadi.
Merealisasikan tauhid artinya menunaikan dua kalimat syahadat dengan sebaik-baiknya. Yang dimaksud yaitu mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyah, uluhiyyah, serta nama dan sifat-Nya. Termasuk pula mentauhidkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara mengikutinya. Pengertiannya adalah dia tidak mengikuti kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang disebut dengan tauhid mutaba’ah.
Seorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat hendaknya membersihkan tauhid dari berbagai jenis kesyirikan dan dosa besar yang tidak disertai dengan bertaubat. Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid La ilaha ilallah. Di samping itu dia harus berlepas diri dari segala kebid’ahan (urusan agama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid Muhammadur Rasulullah. Maka demikianlah makna merealisasikan tauhid secara sempurna.
Di samping terbebas dari berbagai jenis syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi, seorang yang bertauhid harus terlepas pula dari segala kebid’ahan dan dosa besar yang diperbuat dengan terus menerus tanpa bertaubat. Karena melaksanakan sebuah kebid’ahan berarti mempersekutukan Allah dengan hawa nafsu. Demikian pula makna yang terkandung dalam memperbuat sebuah dosa besar. (Penjelasan ini diterangkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh di kaset pelajaran Kitabut-Tauhid).
Tingkatan Merealisasikan Tauhid
Merealisasikan tauhid dapat dibagi menjadi dua tingkatan:
1. Tingkat yang Wajib
Yaitu seseorang merealisasikan tauhid dengan membersihkan dan memurnikannya dari berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan dengan terus-menerus. Ini merupakan tingkat yang wajib bagi orang yang ingin merealisasikan tauhid dengan sempurna.
2. Tingkat yang Mustahab
Tingkat ini digapai setelah menunaikan tingkat yang pertama. Oleh sebab itu tingkat ini lebih tinggi derajatnya dari tingkat yang pertama. Seorang yang ingin menduduki tingkat ini harus melepaskan seluruh wujud penghambaan diri, keinginan, dan tujuan yang menghadap kepada selain Allah. Sehingga dirinya tidak menghadap, berkeinginan dan bertujuan untuk selain Allah sedikit pun dan sekecil apapun. Maka hawa nafsu menjadi budaknya, sedangkan dirinya menjadi hamba Allah secara total dan utuh.
Dengan demikian, seorang yang menempati tingkat ini tidak hanya meninggalkan berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan. Namun dia juga meninggalkan perkara-perkara yang makruh, bahkan sebagian perkara mubah yang dikhawatirkan menggiring kepada perkara harom. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama dengan pernyataan
“Mereka meninggalkan perkara yang tidak mengandung dosa karena khawatir terdapat dosa di dalamnya.”
Tingkatan kedua ini adalah wujud maksimal untuk merealisasikan tauhid secara sempurna dalam meraih derajat yang setingi-tingginya ketika masuk surga. Sedangkan tingkat yang pertama adalah standar untuk masuk surga tanpa azab dan perhitungan amal.
Tentunya kedua tingkatan di atas memiliki perbedaan pula dalam mengibadahi Allah subhanahu wat’ala. Jika tingkat pertama hanya mengibadahi Allah dengan perkara-perkara yang wajib saja.
Beda halnya dengan tingkat kedua. Pada tingkat ini peribadahan kepada Allah tidak hanya sebatas dalam perkara-perkara yang wajib saja tetapi juga dalam perkara-perkara yang mustahab. Tingkat pertama disebut dengan Al-Muqtasid sedangkan tingkatan kedua disebut dengan As Saabiq bil Khairot. Wallahu a’lam.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam Profil Muwahhid Sejati
Allah berfirman dalam Al-Quranul Karim,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٢٠)
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang berbuat syirik.” (An-Nahl: 120)
Di sini Allah memberitakan tentang profil Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang merealisasikan tauhidnya secara sempurna. Beliau adalah seorang pemimpin dan teladan dalam kebaikan-kebaikan terutama perkara tauhid. Beliau adalah seorang yang tunduk dan patuh kepada Allah dengan terus-menerus dalam seluruh situasi, kondisi dan tempat.
Sifat lain yang beliau miliki yaitu menghadapkan diri kepada Allah dengan sepenuhnya tanpa berpaling sedikit pun kepada yang selain-Nya. Seluruh sifat beliau ini merupakan hakikat penerapan tauhid yang sempurna kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Pada ayat di atas diterangkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan orang-orang yang berbuat syirik (musyrikin). Kandungan ayat ini mencakup dua makna:
1. Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan musyrikin secara fisik. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri, tidak bergabung dan berkumpul bersama-sama kaum musyrikin dengan jasadnya.
2. Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan musyrikin secara sifat dan perilaku. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri dan tidak melakukan kesyirikan sama sekali. Demikian pula beliau ‘alaihis salam tidak mengikuti adat kebiasaan kaum musyrikin yang bergelimang dengan kebid’ahan dan kemaksiatan di samping kesyirikan.
(Seluruh keterangan yang lalu disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alus Syaikh di kaset Kitabut Tauhid).
Pada ayat di atas dinyatakan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam disebut sebagai satu umat padahal beliau sendirian. Maksudnya agar orang-orang yang menempuh jalan tauhid tidak merasa ngeri karena jumlah penganutnya sedikit.
Selanjutnya beliau ‘alaihis salam dikukuhkan oleh Allah sebagai seorang yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Berarti beliau ‘alaihis salam bukan seorang yang tunduk kepada penguasa atau orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. Maka tidak ada yang selain mereka.
Maka tidak ada yang bisa menguasai beliau ‘alaihis salam selain Allah, baik dari golongan para penguasa maupun para orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. Beliau ‘alaihis salam tidak bisa dibelai dengan kekuasaan, harta atau yang selainnya. Karena pendirian beliau ini Allah menyebutnya sebagai seorang yang patuh dan tunduk kepada-Nya.
Berikutnya beliau ‘alaihis salam disifatkan sebagai seorang yang hanif. Maksudnya beliau ‘alaihis salam seorang yang hanya menghadap kepada Allah dan berpaling dari yang selain-Nya tanpa menyimpang ke kanan dan ke kiri. Demikianlah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menjelaskan tentang sifat-sifat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagaimana pada ayat di atas.
Kriteria Orang-orang Yang Bertauhid
Allah berfirman dalam Al-Qur’anul Karim,
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (٥٧)وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (٥٨)وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا يُشْرِكُونَ (٥٩)وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (٦١)
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Rabb mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. ” (Al-Mu’minun: 57-61)
Ayat-ayat di atas menyebutkan kriteria orang-orang yang beriman dan bertauhid dengan baik.
Tentang firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Rabb mereka”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka berbuat baik dan beramal shalih karena takut terhadap Rabb mereka dan khawatir ditimpa oleh sesuatu yang mereka tidak inginkan. Inilah kondisi seorang mukmin, berbuat kebaikan karena takut kepada Allah dan khawatir tidak memperoleh apa yang mereka inginkan.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menyatakan, “Seorang mu’min mengumpulkan antara perbuatan baik dan rasa takut kepada Allah. Sedangkan seorang munafik mengumpulkan antara perbuatan jelek dan rasa aman dari siksa Allah.”
Tentang firman Allah,
“Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka”
Perlu diketahui bahwa beriman dengan ayat-ayat Allah mencakup dua hal:
1. Beriman dengan ayat Allah Al-Kauniyyah.
Maksudnya beriman bahwa segala yang terjadi di alam ini dengan taqdir dan ketentuan Allah.
2. Beriman dengan ayat Allah Asy-Syar’iyyah.
Maksudnya beriman kepada syariat yang Allah turunkan melalui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Ayat Allah Asy-Syar’iyyah mengandung tiga hal:
a. Perintah Allah yang disyariatkan. Ini adalah perkara yang dicintai Allah.
b. Larangan Allah yang disyari’atkan. Ini adalah perkara yang dibenci Allah.
c. Kabar yang diberitakan oleh Allah dalam syari’at-Nya. Kabar ini adalah benar dan tidak mungkin dusta sebab datangnya dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Tentang firman Allah,
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun)”
Perlu diketahui bahwa tidak berbuat syirik yang dimaksud dalam ayat ini adalah makna yang menyeluruh dan mencakup semua jenisnya. Artinya tidak berbuat syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Ini adalah sifat seorang yang merealisasikan tauhid secara sempurna.
Jika dinyatakan “tidak berbuat syirik” sedikit pun, berarti terlepas pula dari perbuatan bid’ah dan maksiat. Sebab berbuat bid’ah dan maksiat merupakan realisasi menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Inilah yang disebut dengan syirik. Coba perhatikan firman Allah ta’ala,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
“Apakah engkau tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah (sesembahan)-nya.” (Al-Jatsiyah: 23)
Wallahu a’lam bishshawaab.
(Sumber: Buletin Jum’at Al Muslim, diterbitkan oleh Panitia Kajian Islam Yogyakarta; http://ahlussunnah-bangka.com/2009/04/22/merealisasikan-tauhid/)
Recent Comments