Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Bahaya Kejahilan
Kejahilan terhadap syariat terkadang menjadikan seseorang bersifat gegabah, serampangan, dan tergesa-gesa dalam berbuat. Ia dengan mudah melakukan sesuatu padahal akan memudharatkan dirinya. Betapa sering, karena kejahilan, seseorang terjatuh ke dalam perbuatan kufur dan kesyirikan, bid’ah, pengingkaran terhadap sesuatu yang sudah jelas ada nashnya dalam syariat dan terjatuh dalam berbagai bentuk kemaksiatan.
Kita saksikan sekeliling kita. Ada orang yang hanya bermodal bisa memimpin dzikir dan membaca doa, ia posisikan dirinya sebagai orang yang terpandang walaupun buta terhadap ilmu agama. Ada pula orang yang gemar berceloteh di panggung-panggung dan di mimbar-mimbar, merasa dirinya seakan da’i yang tidak tertandingi, padahal dia tidak memiliki ilmu agama kecuali hanya sedikit saja.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah banyak menjelaskan di dalam ayat-Nya tentang bahaya kejahilan, di antaranya:
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang kaum Nabi Musa ‘alaihissalam:
قَالُوا يَامُوْسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًاكَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
“Mereka (Bani Israil) mengatakan: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan.’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 136)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Allah mensifati Bani Israil dengan kejahilan karena mereka mengetahui bukti-bukti kekuasaan Allah, yang mestinya hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk meminta (sesuatu yang hanya mampu dilakukan Allah) kepada selain Allah. Akan tetapi mereka terkenal sangat keras penentangannya, tinggi kejahilannya dan orang-orang yang tidak memiliki pendirian.” (Fathul Qadir, hal. 586)
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُوْنِ النِّسآءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk memenuhi nafsu kalian bukan (mendatangi) wanita, sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatan kalian).” (An-Naml: 55)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Bagaimana kalian sampai melakukan demikian terhadap syahwat kalian. Kalian melampiaskannya kepada kaum pria melalui dubur mereka, padahal itu tempat keluar kotoran. Dan kalian meninggalkan apa yang Allah ciptakan buat kalian dari wanita-wanita, yaitu tempat-tempat yang baik di mana setiap manusia telah difitrahi untuk condong kepadanya. Demikianlah bila urusan telah terbalik, kalian menganggap yang jelek itu baik dan yang baik itu jelek, akan tetapi kalian tidak mengetahui artinya. Kalian melanggar batasan-batasan Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 556)
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ هَلْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلْتُمْ بِيُوْسُفَ وَأَخِيْهِ إِذْ أَنْتُمْ جَاهِلُوْنَ
“Yusuf berkata: ‘Apakah kalian mengetahui (kejelekan) apa yang kalian telah lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kalian tidak mengetahui akibat perbuatan kalian itu.” (Yusuf: 89)
Ayat ini menjelaskan satu bentuk alasan yang mengakibatkan saudara-saudara Nabi Yusuf terjatuh dalam perbuatan yang tidak sepantasnya terjadi, atau ayat ini merupakan sebuah cercaan terhadap saudara-saudara Nabi Yusuf karena mereka melakukan perbuatan-perbuatan orang jahil.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُوْنَ
“Katakanlah: Apakah kalian menyuruh aku untuk menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Az-Zumar: 64)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada oang-orang jahil (tentang perkataan mereka yang sesat, red.). Perintah orang-orang kafir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala itu didasari oleh kejahilan. Jika mereka berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Sempurna dari semua sisi, niscaya mereka tidak akan memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu.
Masih banyak lagi ayat semakna yang menjelaskan bahwa kejahilan merupakan sumber malapetaka.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Rukun kekufuran ada empat yaitu sombong, hasad, marah, dan syahwat. Sifat sombong akan mencegah seseorang untuk tunduk, hasad menghalangi untuk menerima nasihat, marah akan menghalangi untuk berbuat adil, dan syahwat akan menghalangi untuk konsentrasi dalam beribadah. Apabila hancur pondasi kesombongan akan mudah baginya untuk tunduk; apabila pondasi hasad runtuh maka akan mudah baginya menerima nasihat dan melaksanakannya. Bila pondasi marah runtuh maka akan mudah baginya untuk berbuat adil dan tawadhu’; dan bila pondasi syahwat itu hancur maka akan mudah baginya untuk bersabar, menahan diri dari maksiat serta istiqamah dalam beribadah. Memindahkan sebuah gunung dari tempatnya lebih ringan, gampang dan mudah dibanding menghilangkan keempat perkara ini bagi orang yang telah terkena. Terlebih bila semua telah menjadi perilaku dan tabiat yang mendarah daging. Bersamaan dengan itu, tidak akan lurus amalan apapun yang dibangun di atasnya dan amalan-amalan tersebut tidak akan dapat membersihkan dirinya. Setiap kali dia membangun sebuah amalan, maka akan diruntuhkan oleh keempat perkara tersebut, dan segala macam penyakit bermuara darinya. Bila keempat perkara tersebut menancap di dalam hati maka akan menampilkan kebatilan sebagai kebenaran, kebenaran sebagai kebatilan, ma’ruf dalam bentuk mungkar dan mungkar dalam bentuk ma’ruf, dan dunia akan mendekatinya sedangkan akhirat akan menjauh darinya. Bila kamu meneliti kekufuran umat terdahulu (kamu akan menjumpai, pen.) semuanya bermuara dari keempat perkara tersebut. Dan besar kecilnya sebuah adzab tergantung dari besar dan kecilnya keempat sifat tersebut. Barangsiapa membiarkan keempat rukun kekufuran tersebut pada dirinya, maka dia telah membuka pintu kejahatan pada dirinya. Dan barangsiapa menutupnya maka akan tertutup pintu-pintu kejahatan pada dirinya. Keempat perkara di atas akan menyebabkan seseorang terhalang untuk tunduk, ikhlas, bertaubat, menerima kebenaran, menerima nasihat dari saudaranya, dan tawadhu’ di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di hadapan makhluk. Keempat sifat tersebut disebabkan kejahilan tentang Rabbnya dan kejahilan tentang dirinya. Jika dia mengetahui Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna dan Agung, serta dia mengetahui tentang dirinya yang penuh kelemahan dan serba kekurangan, niscaya dia tidak akan menyombongkan diri, tidak akan marah, dan tidak akan iri hati kepada siapapun yang telah mendapatkan anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al-Fawaid, hal. 174-175)
Al-Imam Mujahid rahimahullah dan selain beliau mengatakan: “Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala baik sengaja atau tidak, dia adalah orang jahil sampai dia bertaubat.”
Al-Imam Qatadah rahimahullah meriwayatkan dari Abu ‘Aliyah, ia mengatakan tentang para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka berkata: “Setiap dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, asasnya adalah kejahilan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir)
Abdur Razzaq rahimahullah berkata: Ma’mar telah menyampaikan kepada kami dari Qatadah bahwa ia berkata: ” Para shahabat telah ijma’ (bersepakat) bahwa segala kemaksiatan dasarnya adalah kejahilan, baik disengaja ataupun tidak.”
Ibnu Juraij rahimahullah berkata: Abdullah bin Katsir menyampaikan kepadaku dari Mujahid bahwa ia berkata: “Setiap pelaku kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dalam keadaan jahil ketika melakukannya.”
Ibnu Juraij rahimahullah juga berkata: ‘Atha bin Abi Rabbah telah menyampaikan kepadaku ucapan yang sejenis.
Abu Shalih rahimahullah berkata (riwayat) dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu: “Kejahilan seseorang akan menyebabkan dia melakukan kejahatan.” (Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya, 1/572)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata di dalam Tafsir beliau bahwa kejahilan yang dimaksud adalah: “Kejahilan tentang akibat perbuatan itu, kejahilan tentang sebuah amalan yang akan mengundang murka Allah dan adzab-Nya, kejahilan dirinya tentang pantauan Allah dan penglihatan-Nya, kejahilan tentang amalan yang akan merugikan iman atau menghilangkannya. Berdasarkan tinjauan ini, maka setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia adalah orang jahil walaupun dia berilmu tentang keharaman.”
Berhati-hati dari Orang Jahil
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah memperingatkan kita agar berhati-hati dari orang jahil dan sepak terjangnya, karena bahaya berteman dengan mereka sangat besar. Dia akan menjerumuskan dirimu ke lubang kemaksiatan walaupun kamu mengetahui hukumnya. Orang jahil lebih dekat kepada Iblis dan tentara-tentaranya daripada kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tentara-tentara-Nya, dan mereka sendiri adalah tentara Iblis. Bila kamu mendekati mereka, pasukan Iblis akan bergerak untuk menciduk dirimu, agama dan hartamu.
Dalam kehidupan kaum muslimin sekarang ini sangat terlihat berbagai praktek kehidupan yang didasari oleh kejahilan. Bahkan mayoritas praktek kehidupan yang merupakan perilaku jahiliyah menjadi kebanggaan. Prinsip mereka adalah apa yang di jelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُوْنَ
“Mereka berkata: ‘(tidak) kami hanya mengikuti apa yang kami telah dapati dari perbuatan nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 170)
Pertanyaan ini telah dijawab oleh kenyataan yang ada bahwa walaupun nenek moyang mereka dalam keadaan tidak mengetahui, tidak mendapatkan petunjuk dan berada dalam kesesatan, toh nenek moyang itu tetap diikuti dari ujung rambut sampai ujung kaki. Demikianlah bahaya kebodohan, yaitu akan membutakan sehingga tidak bisa melihat cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menerangi alam ini, malamnya bagaikan siang.
Prinsip “mati urip” membela ajaran nenek moyang dijadikan sebagai senjata untuk menolak kebenaran, berpaling darinya dan membencinya. Dengan prinsip di atas mereka berani membela kebatilan dan melindungi pelakunya.
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan di dalam firman-Nya:
فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ
“Maka janganlah kalian termasuk orang-orang yang jahil.” (Al-An’am: 35)
Ayat ini menjelaskan agar kita jangan sampai menjadi orang jahil yang tidak mengetahui hakikat permasalahan dan meletakkan permasalahan tidak pada tempatnya.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing agar Nabi Musa ‘alaihissalam berlindung dari sifat kejahilan:
قَالَ أَعُوْذُ بِاللهِ أَنْ أَكُوْن َمِنَ الْجَاهِلِيْنَ
“Musa berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang orang yang bodoh.'” (Al-Baqarah: 67)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Karena sesungguhnya orang jahil itu adalah orang yang berbicara dengan sebuah ucapan yang tidak berfaidah dan orang-orang yang suka menghina orang lain.” (Tafsir As-Sa’di hal. 37)
Beliau juga mensifati orang-orang jahil dan tolol dengan: “Kejahilan tentang maslahat dirinya dan dia melakukan segala apa yang memudharatkannya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 26)
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Nabi Ibrahim p agar menyingkir dan meninggalkan orang-orang jahiliyah dalam firman-Nya:
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَنْ لاَ أَكُوْنَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا
“Dan aku akan menyingkir dari kalian dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah dan aku hanya berdoa kepada Rabbku semoga aku dengan itu tidak termasuk orang-orang yang celaka.” (Maryam: 48)
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala bercerita tentang sikap Nabi Musa ‘alaihissalam terhadap kaumnya dalam firman-Nya:
وَإِنِّي عُذْتُ بِرَبِّي وَرَبِّكُمْ أَنْ تَرْجُمُوْنِ. فَإِنَّ لَمْ تُؤْمِنُوا لِي فَاعْتَزِلُوْنِ
“Sesungguhnya aku berlindung kepada Rabbku dan Rabb kalian dari keinginan kalian merajamku, dan jika kamu tidak beriman kepadaku maka biarkanlah aku menyingkir dari kalian (memimpin bani Israil).” (Ad-Dukhan: 20-21)
5. Allah Subhanahu wa Ta’ala bercerita tentang Ashabul Kahfi dalam firman-Nya:
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوْهُمْ وَمَا يَعْبُدُوْنَ إِلاَّ اللهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يِنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
“Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kalian dan menyediakan sesuatu yang berguna buat kalian dalam urusan kalian.” (Al-Kahfi: 16)
6. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan di dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari setiap hamba namun Allah mencabutnya dengan mematikan orang-orang alim. Sehingga di saat Allah tidak menyisakan seorangpun dari mereka, manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin mereka. Mereka ditanya merekapun berfatwa tanpa dasar ilmu sehingga sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
7. Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang (1) Orang yang memproklamirkan kejahilannya (2) Orang yang selalu mengikuti hawa nafsu (3) Orang yang terkenal pendusta dalam ucapannya walaupun dia tidak berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (4) Orang memiliki keutamaan dan kebaikan namun dia tidak mengetahui apa yang sedang diucapkannya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi, 2/48)
Dalil-dalil di atas menjelaskan kepada kita sikap yang selamat dan menyelamatkan yaitu menyingkir dari orang-orang jahil yang tidak mau menerima kebenaran. Dan termasuk dari sederetan orang-orang jahil adalah para dukun dan tukang ramal.
Dukun adalah Orang Jahil
Dukun adalah orang yang menyatakan kepada manusia (bahwa dia mengetaui) perkara-perkara ghaib yang belum terjadi dan perkara yang ada di dalam hati seseorang.
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan: “Dukun adalah seseorang yang selalu memberikan berita tentang perkara-perkara yang belum terjadi pada waktu mendatang dan mengaku mengetahui segala bentuk rahasia. Memang dulu di negeri Arab banyak terdapat dukun seperti syiqq, sathih dan selainnya. Di antara mereka (orang Arab) ada yang menyangka bahwa dukun itu adalah para pemilik jin yang akan menyampaikan berita-berita kepada mereka. Di antara mereka ada pula yang menyangka bahwa dukun adalah orang yang mengetahui perkara-perkara yang akan terjadi dengan melihat kepada tanda-tandanya. Tanda-tanda itulah yang akan dipakai untuk menghukumi kejadian-kejadian seperti melalui pembicaraan orang yang diajak bicara atau perbuatannya atau keadaannya, dan ini mereka khususkan istilahnya dengan tukang ramal, Seperti seseorang mengetahui sesuatu yang dicuri dan tempat barang yang hilang dan sebagainya.” (An-Nihayah fii Gharibil Hadits, 4/214)
Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi) mengatakan: “Dukun adalah orang yang mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib atau mengetahui segala bentuk rahasia batin. Mayoritas dukun adalah orang-orang yang mempelajari bintang-bintang untuk mengetahui kejadian-kejadian (yang akan terjadi) atau mereka mempergunakan bantuan jin-jin untuk mencuri berita-berita. Dan yang semisal mereka adalah orang-orang yang mempergunakan garis di tanah, melihat di cangkir, atau di telapak tangan atau melihat buku untuk mengetahui perkara-perkara ghaib tersebut.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 1/393-394)
Mayoritas yang terjadi di tengah umat ini adalah pemberitaan yang dilakukan oleh jin-jin terhadap para wali mereka dari kalangan manusia yaitu berita-berita tentang perkara ghaib yang akan terjadi di muka bumi. Orang-orang jahil menyangka bahwa itu adalah sebuah kasyaf (ilmu membuka tabir) dan sebuah karamah. Dengan itu banyak orang tertipu dan menyangka bahwa yang memberitahukan perkara tadi adalah seorang wali Allah Subhanahu wa Ta’ala padahal dia adalah wali setan.
Hukum Perdukunan
Dari penjelasan di atas maka tidak ada keraguan lagi tentang hukum perdukunan itu adalah haram.
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah mengatakan: “Bukan satu orang dari ulama telah menukilkan ijma’ tentang keharamannya (keharaman dukun) seperti Al-Imam Al-Baghawi, Al-Qadhi ‘Iyadh, dan selain mereka.” (Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 341)
Perdukunan adalah sebuah kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pelakunya adalah kafir, keluar dari agama, karena mereka meyakini tahu perkara-perkara ghaib, sedangkan permasalahan ghaib merupakan kekhususan ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tindakan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam salah satu sifat-Nya termasuk dari kesyirikan, disamping juga merupakan pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi:
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا يَشْعُرُوْنَ أَيَّانَ يُبْعَثُوْنَ
“Katakan bahwa tidak ada seorangpun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara ghaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فِيْمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلىَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun lalu dia membenarkan apa yang dikatakan maka sungguh dia telah kufur kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Hadits ini di keluarkan oleh Al-Hakim (1/8) dan beliau menshahihkannya, disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi dan dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa` no. 2006, Shahih Sunan Abu Dawud no. 3304, Shahih Sunan Ibni Majah no. 522, Al-Misykat no. 551 dan di dalam kitab Adab Az-Zafaf hal. 105-106. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no. 3904, Ahmad (2/408, 429, 476), Ibnu Majah no. 639, Al-Baihaqi (7/198), Ibnu Jarud no. 107, Ad-Darimi no. 1141 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar (15/429).
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah mengatakan: “Kalau demikian keadaan orang yang mendatanginya lalu bagaimana tentang orang yang ditanya/didatangi (yaitu dukun)?” (Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 341)
Hukum mendatangi dukun secara umum adalah haram sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa sabdanya:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَأَلَ أُنَاسٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكُهَّانِ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُمْ لَيْسُوا بِشَيْئٍ. فَقَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّهُمْ يُحَدِّثُوْنَ أَحْيَانًا بِالشَّيْئِ فَيَكُوْنُ حَقًّا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقَرْقِرُهَا فِيْ أُذُنِ وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ الدَّجَاجَةِ فَيَخْلِطُوْنَ فِيْهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah tentang dukun-dukun. Rasulullah berkata kepada mereka: “Mereka tidak (memiliki) kebenaran sedikitpun.” Mereka (para shahabat) berkata: “Terkadang para dukun itu menyampaikan sesuatu dan benar terjadi.” Rasulullah menjawab: “Kalimat yang mereka sampaikan itu datang dari Allah yang telah disambar (dicuri, red) oleh para jin, lalu para jin itu membisikkan ke telinga wali-walinya sebagaimana berkoteknya ayam dan mereka mencampurnya dengan seratus kedustaan.” (HR. Al-Bukhari no. 5429, 5859, 7122 dan Muslim no. 2228)
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكِمِ السُّلَمِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي حَدِيْثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ، وَإِنَّ مِنَّا رِجَالاً يَأْتُوْنَ الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلاَ تَأْتُوا الْْكُهَّانَ. قَالَ: قُلْتُ: وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُوْنَ. قَالَ: ذَلِكَ شَيْئٌ يَجِدُوْنَهُ فِيْ صُدُوْرِهِمْ فَلاَ يَصُدَّنَّهُمْ
Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, saya baru masuk Islam yang datang dari sisi Allah, dan sesungguhnya di antara kami ada yang suka mendatangi para dukun.” Beliau bersabda: “Jangan kalian mendatangi para dukun.” Dia (Mu’awiyah ibnul Hakam) berkata: Aku berkata: “Di antara kami ada yang gemar melakukan tathayyur (percaya bahwa gerak-gerik burung memiliki pengaruh pada nasib seseorang).” Beliau berkata: “Demikian itu adalah sesuatu yang terlintas dalam dada mereka, maka janganlah menghalangi mereka dari aktivitas mereka (untuk berangkat -pen/yakni gerakan burung itu jangan menghalangi orang-orang tersebut untuk berbuat sesuatu -ed).” (HR. Muslim, no. 735)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَنْ أَتَى عَرَّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْئٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
Diriwayatkan dari sebagian istri Rasulullah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim, no. 2230)
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَنَ الْكَلْبِ وَمَهْرَ الْبَغْيِ وَحُلْوَانَ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memakan harga anjing (keuntungan dari menjual anjing -ed), hasil pelacuran dan hasil perdukunan.” (HR. Al-Bukhari no. 5428, dan Muslim no. 1567)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فِيْمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun lalu dia membenarkan apa-apa yang dikatakan maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 2006, dinukil dari Al-Qaulul Mufid)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan: “Dari hadits ini diambil hukum haramnya mendatangi dan bertanya kepada mereka (dukun) kecuali apa-apa yang dikecualikan dalam masalah ketiga dan keempat (sebagaimana pada paragraf selanjutnya -red). Sebab dalam mendatangi dan bertanya kepada mereka terdapat kerusakan yang amat besar, yang berakibat mendorong mereka untuk berani (mengerjakan hal-hal perdukunan -red) dan mengakibatkan manusia tertipu dengan mereka, padahal mayoritas mereka datang dengan segala bentuk kebatilan.” (Al-Qaulul Mufid, 2/64)
Adapun jawaban secara rinci tentang hukum mendatangi para dukun dan bertanya kepada mereka adalah:
1. Mendatangi mereka semata-mata untuk bertanya. Ini adalah perkara yang diharamkan sebagaimana dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَتَى عَرَّافاً أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فِيْمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun lalu dia membenarkan apa-apa yang dikatakan maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.”
Penetapan adanya ancaman dan siksaan karena bertanya kepada mereka, menunjukkan haramnya perbuatan itu, sebab tidak datang sebuah ancaman melainkan bila perbuatan itu diharamkan.
2. Mendatangi mereka lalu bertanya kepada mereka dan membenarkan apa yang diucapkan. Ini adalah bentuk kekufuran karena membenarkan dukun dalam perkara ghaib termasuk mendustakan Al Qur`an. Allah berfirman:
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا يَشْعُرُوْنَ أَيَِّانَ يُبْعَثُوْنَ
“Katakan bahwa tidak ada seorangpun yang ada dilangit dan dibumi mengetahui perkara ghaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
3. Mendatangi mereka dan bertanya dalam rangka ingin mengujinya, apakah dia benar atau dusta. Hal ini tidak mengapa dan tidak termasuk ke dalam hadits di atas. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau bertanya kepada Ibnu Shayyad:
مَاذَا خَبَأْتُ لَكَ؟ قَالَ: الدُّخُّ, فَقَالَ اخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ
“Apa yang aku sembunyikan buatmu?” Ibnu Shayyad berkata: “Ad-dukh (asap).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Diam kamu! Kamu tidak lebih dari seorang dukun.” (HR. Al-Bukhari no. 1289 dan Muslim no. 2930)
4. Mendatangi mereka lalu bertanya dengan maksud membongkar kedustaan dan kelemahannya, menguji mereka dalam perkara yang memang jelas kedustaan dan kelemahannya. Hal ini dianjurkan bahkan wajib hukumnya. (Al-Qaulul Mufid, Ibnu ‘Utsaimin, 2/60-61, Al-Qaulul Mufid Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushshabi, hal. 140-143)
Dukun, Penciduk Agama dan Harta
Tidak ada keraguan bagi orang yang telah menikmati ilmu As Sunnah dan tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi mereka tentang kejahatan para dukun dan tukang ramal. Mereka adalah para penciduk agama dan juga harta.
Penciduk agama artinya mereka telah merusak keyakinan kaum muslimin khususnya dalam masalah ilmu ghaib. Bahkan dengan sebab mereka, seseorang bisa menjadi kafir keluar dari agama. Mereka adalah perusak salah satu prinsip agama bahkan pondasi keimanan yaitu beriman dengan perkara yang ghaib, karena perkara ghaib ilmunya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
“Itulah Al-Kitab yang tidak ada keraguan padanya menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa yaitu orang-orang yang beriman dengan perkara yang ghaib.” (Al-Baqarah: 201)
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا يَشْعُرُوْنَ أَيَِّانَ يُبْعَثُوْنَ
“Katakan: Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara ghaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ
“Allah tidak memperlihatkan kepada kalian hal-hal yang ghaib.” (Ali ‘Imran: 179)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ
“Di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
فَقُلْ إِنَّمَا الْغَيْبُ ِللهِ
“Maka katakanlah: Sesungguhnya yang ghaib itu hanya kepunyaan Allah.” (Yunus: 30)
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شآءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسَتَكْثَرْتُ مِنْ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لَقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentunya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 177)
Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ: لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا فِيْ غَدٍ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُوْنُ فِي اْلأَرْحَامِ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وَلاَ تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيْ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِي الْمَطَرُ إِلاَّ اللهُ وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ اللهُ
“Kunci-kunci perkara ghaib itu ada lima dan tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah: Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi besok kecuali Allah; tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah; tidak ada satu jiwapun mengetahui apa yang akan diperbuatnya besok; tidak mengetahui di negeri mana (seseorang) meninggal kecuali Allah; tidak ada yang mengetahui kapan turunnya hujan melainkan Allah; dan tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 992, 4351, 4420, 4500, 6944 dan Ahmad, 2/52)
Adapun sebagai gerombolan penciduk harta artinya mereka melakukan penipuan terhadap umat sehingga betapa banyak harta hilang dengan sia-sia dan termakan penipuan mereka. Betapa banyak harta terkorbankan karena kedustaan para dukun, sementara persoalan setiap orang yang datang kepada mereka tidak juga tuntas dan tidak terjawab. Persyaratan demi persyaratan datang silih berganti mulai dari tingkat yang paling kecil sampai tingkat yang paling besar, dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Persyaratan itu harus terpenuhi sehingga umat pun berusaha untuk memenuhinya. Mereka masuk dalam peringkat pertama sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa menipu kami maka dia tidak termasuk (golongan) kami.” (HR. Muslim)
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Dukun
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi menyebutkan akidah Ahlus Sunnah terhadap dukun dalam kitab beliau Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah: “Kita tidak boleh membenarkan dukun dan tukang ramal, dan tidak boleh membenarkan orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al Qur`an, As Sunnah dan ijma’.”
Ibnu Abi ‘Izzi mengatakan: “Wajib bagi pemerintah dan orang yang memiliki kesanggupan untuk melenyapkan para dukun dan tukang ramal serta permainan-permainan sihir sejenisnya seperti menggunakan garis di tanah atau dengan kerikil atau undian. Dan mencegah mereka untuk duduk-duduk di jalan dan memperingatkan mereka supaya jangan masuk ke rumah-rumah orang. Cukuplah bagi orang yang mengetahui keharamannya lalu dia tidak berusaha melenyapkannya padahal dia memiliki kesanggupan, (cukup baginya) firman Allah:
كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرِ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَاكَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Mereka tidak saling mengingkari perbuatan mungkar yang telah mereka kerjakan, amat buruklah apa yang telah mereka perbuat.” (Al-Maidah: 79) (Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 342)
Al-Lajnah Ad-Da‘imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi) berkata: “Kaum muslimin tidak boleh shalat di belakang mereka (para dukun) dan tidak sah shalat di belakang mereka. Bila seseorang kemudian mengetahui hal itu hendaklah dia meminta ampun kepada Allah dan mengulangi shalatnya.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da‘imah, 1/394)
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=277
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=292
Jazakallahu khoir atas dimuatnya, artikel tentang kesesatan dukun….masyarakat kita butuh penjelasan yang lebih banyak tentang masalah tahid dan syirik. Syaik Ibnu Baaz saja mengajarkan kitab Tauhid sampai 60 kali…. padahal diajarkan dinegri yang kita kenal sebagai negri tauhid, … lalu bagaimana dengan negri kita wahai saudara ku…ada beberapa kitab yang tidak pernah syaikh Ibnu Baaz meninggalkannya,artinya jika selesai dari kitab tsb, beliau selau mengulangnya. 1. Tafsir Ibnu Katsir 2.Shohih Bukhari 3. Shohih Muslim 4. bulugul maram 5. Kitab Tauhid.